RENUNGAN BULAN KELUARGA: HIDUP DENGAN RASA CUKUP (I TIMOTIUS 6: 2b - 12)
Pasti
kita semua dengar istilah Teologi Sukses atau Teologi Kemakmuran. Teologi
sukses, adalah teologi Kristen yang
mengajarkan bahwa kemakmuran dan sukses (kaya, berhasil, dan sehat sempurna)
adalah tanda-tanda pemberian dari Allah untuk
orang-orang yang dikasihinya.
Perkembangan ini tidak lepas dari
perkembangan ekonomi global yang dimulai di Amerika Serikat sejak usainya
Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Korea (1950). Ekonomi di AS maju pesat
karena dipacu oleh industri perang yang luar biasa, di mana AS tampil sebagai
pemenang. Kemenangan perang ini membawa perekonomian dan perindustrian AS
lainnya berkembang pesat dan membuahkan suatu masyarakat yang makmur dan
berkelimpahan secara materi. Dalam situasi pasca-perang yang gemerlapan itulah
ajaran-ajaran yang dapat menyesuaikan kemewahan materi dan agama menjadi laku.
Indonesia juga sedang membangun
perekonomiannya dengan pesat. Kemajuan ekonomi menyebabkan makin meningkatnya
jemaat yang termasuk golongan menengah. Secara relatif jemaat di kota-kota
besar bertambah jumlahnya yang tergolong kelas menengah, yang ekonominya makin
membaik. Di kota-kota besar itu menyebabkan ibadat gaya Teologi Sukses
cenderung makin populer
Ciri
kelihatan dari gerakan teologis sukses ialah kecenderungan untuk berlomba-lomba
membangun gereja dan Praise Center besar, mewah dan mengadakan
acara-acara “out reach” yang dihiasi segala bentuk glamour ala dunia
show-biz. Bahkan ada gereja yang mempunyai motto “Kami adalah keluarga Allah
yang sukses dan bahagia”.
Biasanya
ibadat yang dilaksanakan oleh aliran teologi sukses lebih didominasi oleh
pujian dan penyembahan kepada Allah yang luar biasa. Penekanan pada Allah yang
Mahabesar dan Mahakaya ini diiringi dengan kebaktian-kebaktian kebangunan rohani
yang menekankan “Berkat Tuhan dan kesembuhan Ilahi” disertai dengan demonstrasi
mukjizat-mukjizat. Penekanan pada mukjizat ilahi sangat diutamakan, khususnya
dengan mempromosikan ayat, bahwa “tidak ada yang mustahil bagi Allah”. Dengan
demikian juga tidak ada yang mustahil bagi manusia untuk mengharapkan mukjizat,
baik mukjizat kesembuhan maupun kekayaan dan kemakmuran hidup.
Khotbah-khotbah
yang disampaikan sangat menyinggung uang dan menekankan pemberian persembahan,
terutama berbentuk persepuluhan. Motivasi yang ditekankan, “makin banyak
memberi, makin banyak berkat yang akan diterima”. Praktik persembahan ini
sering diiringi dengan kesaksian-kesaksian menerima berkat, sukses dagang atau
kesembuhan setelah memberi persembahan persepuluhan. Ditonjolkan
kesaksian-kesaksian orang kaya yang bertobat atau diberkati dalam usahanya.
Karena penekanan yang kuat pada sukses materi dan uang, terjadilah pemujaan
pada yang kaya, termasuk perusahaan-perusahaan. Sebagai konsekuensinya terjadi
sekularisasi dan komersialisasi agama, berupa simbiosa atau kerja sama antara
ibadat dan interes perusahaan, dengan adanya pemasangan iklan dan pesan
sponsor. Teologi sukses bertolak belakang dengan teologi salib.
Di
minggu ketiga Bulan Keluarga tema renungan adalah Hidup dengan Rasa Cukup.
Bacaan kita saat ini adalah pasal terakhir surat pertama Paulus kepada
Timotius.
Pertama,
ayat 2b-5, sifat-sifat pengajaran ajaran sesat.
Menjelang akhir suratnya, Paulus
berpesan kepada Timotius, “ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini”. Yang
dimaksud dengan “semuanya ini” adalah semua petunjuk mengenai iman yang sejati.
Inti ajaran itu baik (sehat), bila didasarkan atas perkataan Tuhan Yesus
Kristus dan diarahkan kepada penghayatan iman dalam hidup sehari-hari sesuai
dengan ibadah. Dalam ayat 4, Paulus kembali menunjukkan kelemahan guru-guru
sesat yang telah ia keritik di I Tim. 1:4-6. Mereka berlagak tahu padahal tidak
tahu apa-apa karena mereka tidak sampai kepada inti agama Kristen yakni kasih.
Kecenderungan guru-guru sesat itu bagaikan penyakit. Mereka mencari-cari soal
dan bersilat kata. Kata “berlagak” artinya sombong. Mereka menganggap diri
lebih pintar dari orang lain. Dalam situasi yang demikian, satu memandang yang
lain lebih rendah sehingga timbul dengki .
Guru-guru
sesat itu dipandang orang-orang yang tidak lagi berpikir sehat, dalam bahasa
aslinya: orang yang budinya telah rusak. Tidak dapat membedakan mana kehendak
Allah, apa yang baik dan berkenan kepada Allah. Mereka tidak melakukan ibadah
mereka dengan motivasi yang baik, melainkan dengan egois mencari kehormatan dan
mencari keuntungan materiil (ay. 5). Mereka mengira ibadah adalah sumber
keuntungan.
Ada
satu kebiasaan pada zaman itu, bahwa para filsuf dan guru berkeliling mendapat
imbalan materiil untuk pengajaran mereka. Kebiasaan diambil oleh guru-guru
agama Kristen. Sekalipun Paulus menganggap imbalan itu layak, namun ada
bahayanya juga, bila imbalan itu dijadikan motivasi untuk pelayanan mereka (I
Tim. 5:17,18).
Kedua,
ayat 6-12, sikap terhadap kekayaan.
Pada ayat 6, Paulus meneruskan apa yang telah dibicarakan
di ayat sebelumnya. Namun yang dimaksud Paulus di sini adalah keuntungan rohani
(lih. 4:8). Kalau di sertai rasa cukup. Dalam bahasa Yunaninya autarkeia yang
berarti rasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya. Kata ini dipakai juga oleh
Paulus dalam Filipi 4:11-13 “aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala
keadaan yaitu baik dalam kelaparan maupun kekurangan. Paulus merasa cukup
karena Kristus memberi kekuatan kepadanya. Di dalam Kristus, ia memiliki suatu
kekayaan yang jauh melebihi segala kekayaan dunia, sehingga tidak berkeinginan
memburu kekayaan materiil.
Bagi
Paulus, mengapa orang Kristen bisa memiliki rasa cukup yakni karena mereka
memiliki suatu kekayaan yang jauh lebih besar. Selain itu pada ayat yang ke 7,
ia memberikan alasan berikutnya bahwa kita tidak membawa sesuatu ke dalam
dunia. Apa gunanya mengumpulkan harta kekayaan yang berlebihan, kalau semuanya
itu harus ditinggalkan pada saat ia mati. Konsekuensi dari merasa cukup adalah
sikap yang bijaksana. Ini diterangkan dalam ayat 8. Rasa cukup diwujudkan
dengan sikap puasnya jika ia sudah memperoleh makanan dan minuman. Kata yang
digunakan untuk pakaian dalam bahasa Yunaninya secara harafiah artinya “alat
penutup” dan tidak hanya mencakup pakaian tetapi tempat tinggal. Jadi bagi
Paulus, jika sudah memperoleh sandang pangan dan tempat berteduh yang
diperlukan sudah memadai. Selain itu, rasa cukup yang dimaksud oleh Paulus
meliputi kemampuan untuk berbuat baik. Selain itu merasa cukup tidak hanya
untuk kepentingan pribadi melainkan juga memperjuangkan kebutuhan orang lain.
Sikap ini berbeda dengan penganut aliran filsafat Stoa zaman Paulus, di mana
mereka rasa cukup dengan kebutuhan pribadi, tetapi bersikap acuh tak acuh
terhadap sekitarnya.
Paulus
tidak hanya mengecam orang kaya, melainkan mereka yang ingin kaya. Karena
mengejar kekayaan materiil maka mereka melupakan kekayaan lainnya. Segala
sesuatu yang mereka kerjakan hanya untuk kekayaan materiil. Orang-orang semacam
itu mudah jatuh dalam pencobaan, ke dalam jerat iblis (ay. 9) karena iblis
menawarkan dengan cara-cara yang tidak halal. Mereka jatuh dalam nafsu yang
hampa dalam bahasa aslinya nafsu yang bodoh. Untuk mendapatkan kekayaan
materiil mereka membayar harga yang mahal yaitu keselamatan jiwa.
Uang
pada dirinya tidak mengandung dosa, tetapi cinta uang adalah akar segala
kejahatan. Orang yang cinta uang akan melakukan segala kejahatan untuk
memperolehnya. Orang-orang semacam ini menyimpan dari imannya. Karena memburu
uang maka menyiksa diri dengan berbagai duka dalam bahasa aslinya menusuk
dirinya dengan berbagai-bagai duka (ay. 10).
Paulus
menasihati Timotius untuk menjauhi semuanya itu (ay. 11) terutama dosa cinta
uang dan praktik kejahatan lainnya. Kejarlah keadilan (berusaha untuk
melakukan), ibadah yang benar, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan.
Nilai-nilai itu yang dicari karena itulah kekayaan Kerajaan Allah.
Pada
ayat 12 Paulus menggunakan ilustrasi dari dunia olahraga. Raihlah hidup yang
kekal (rebutlah) sesuai dengan ikrar iman kepada Kristus.
POKOK-POKOK
RENUNGAN
Pertama,
jadilah
keluarga yang beribadah dan melayani dengan motivasi yang benar yakni
bukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sukses dan makmur (teologi
kesuksesan). Orang yang beribadah dan melayani hanya untuk mencari keuntungan,
kesuksesan dan kekayaan serta penekanan yang kuat pada sukses materi dan uang adalah
guru-guru sesat. Mereka suka menekankan dan mengampanyekan ayat-ayat Kitab Suci
tertentu untuk menggerakkan emosi untuk memberi. Cara ibadah yang demikian
bertentangan dengan iman yang sejati, sebab iman yang sejati bukan orientasi
materiil, melainkan, menegakkan keadilan, kesetiaan, kasih, kesabaran dan
kelemahlembutan. Imbalan bukan menjadi motivasi pelayanan, gaji bukan menjadi
orientasi pelayanan, namun karena penyerahan diri kepada Tuhan. Ada yang
mengatakan kepada saya, “kalau gaji sudah sampai titik ini, maka saya akan
minta pensiun dini”. Lalu apakah materi,
uang, tidak penting dalam pelayanan kita? Penting, tetapi bukan tujuan utama
sebab tujuan utama adalah melayani Tuhan melalui sesama. Apa yang kita peroleh
dari pelayanan kita (gaji, dll.,) adalah berkat dari Tuhan. Di bulan keluarga ini,
kita diingatkan agar hati-hati terhadap guru-guru sesat yang memanfaatkan
pelayanan untuk memperkaya diri.
Kedua,
di
bulan keluarga ini, kita diingatkan oleh firman Tuhan untuk bersyukur
dengan apa yang ada, bukan dengan apa yang tidak ada. Belajar mencukupkan diri
dengan berkat yang Tuhan berikan melalui pelayanan kita. Kita hidup dalam pasar
modern. Pasar modern membuat kita merasa tidak cukup, tidak puas dengan apa
yang kita miliki. Pasar modern membuat kita merasa bahwa HP yang kita ketinggalan
zaman, motor, mobil, sofa, dll. Firman Tuhan mengingatkan keluarga-keluarga
Kristen untuk merasa cukup dengan apa yang ada. Bukan berarti kita tidak perlu
lagi membeli ini dan itu, buat ini dan itu. Tidak. Bisa membeli ini dan itu,
namun itu dibutuhkan dan mendapatkan dengan cara yang benar.
Ketiga, keluarga yang mengejar kekayaan materiil, membuat mereka melupakan
kekayaan lainnya. Dalam dunia yang materialistis dan konsumeristis, orang
Kristen diminta oleh firman Tuhan untuk fokus mengejar kekayaan rohani, yakni
nilai-nilai yang disebutkan di atas. Keadilan, kasih, kesabaran dan kesetiaan.
Mengejar harta, uang, akan mengalihkan perhatian seseorang dari pelayanan.
Tidak ada waktu untuk pelayanan. Tidak ada waktu untuk menolong orang lain,
dst. Karena mengejar harta, bisa membuat orang bisa melakukan apa saja untuk
mendapatkannya. Oleh karena itu, firman Tuhan mengingatkan kita untuk mengejar
kekayaan rohani.
Keempat,
dalam dunia yang materialistis dan bermewah-mewah (konsumeristis), kita
diingatkan untuk menjadi keluarga yang belajar mencukupkan diri,
seperti Paulus yang mencukupkan dirinya dengan apa yang ada. Sebab orang yang percaya kepada Kristus
memiliki harta kekayaan yang lebih besar, yakni keselamatan yang Tuhan telah
siapkan baginya. Selain itu, harus sadar bahwa kita datang ke dalam dunia tidak
membawa apa-apa dan kembali pun kita tidak membawa apa-apa juga. Amin. (FN)
Komentar
Posting Komentar