NATAL : ALLAH YANG MERANGKUL ( LUKAS 2:1-20)


Tema renungan di atas membuat saya teringat cerita pengalaman kawan saya. Ceritanya demikian: Beberapa tahun yang lalu, saat hendak merayakan Natal, dia dengan panitia dan pemuda/i rapat untuk membuat konsep penataan ruangan, dan persiapan lainnya. Gedung gereja masih lantai kasar, lalu mereka sepakat untuk lantai ini ditutup dengan karpet warna sesuai dengan latar gereja. Singkat cerita panitia melaksanakan keputusan rapat. Betapa sibuknya mereka memodifikasi ruangan satu minggu sebelum perayaan Natal. Mendekati Natal lantai jalan dari pintu depan, samping kiri dan kanan ditutup dengan karpet. Menyisakan lorong di sisi kiri dan kanan menuju bangku dan kursi. Jemaat mulai hadir, namun mereka yang datang berdiri di luar sambil melihat ke dalam gereja. Saat dipersilakan masuk, sedikit saja yang melewati karpet namun sandal dibuka di depan pintu. Orang-orang tua yang tidak memakai sendal, mereka melewati samping kiri dan kanan yang tidak ada karpet dan duduk di kursi bagian belakang.  

Pertanyaan saya adalah: Natal yang dirayakan ini merangkul atau menjauhkan mereka dari ibadah? Apakah tidak, kemegahan ruangan menyingkirkan jemaat ke pojok-pojok gereja? Ibadah syukur Natal atau dekorasi untuk pernikahan?

Dalam bacaan ini, kita membaginya dalam tiga tema. Pertama, kelahiran Kristus dalam suasana politis kolonialisme Romawi, di mana Yesus lahir pada pemerintahan Kaisar Agustinus (ay. 1-7). Kedua, memaparkan kelahiran Yesus sebagai sebuah bentuk cinta kasih Allah (ay. 8-14) dan ketiga, berisi panggilan bagi para gembala untuk mewartakan kabar gembira yang telah mereka terima dari Allah (ay. 15-20).

Pertama, Kelahiran Yesus dalam suasana penjajahan bangsa Romawi. Hal itu menunjukkan bahwa Yesus lahir dalam sebuah konteks dan dalam situasi bangsa yang tertekan, terjajah. Dengan menekankan latar belakang ini, penulis Injil hendak menyampaikan pesan bahwa kelahiran Yesus tidak hanya menyangkut kepentingan rohani semata sebagai mana yang sering kita hayati selama ini, namun menyangkut masalah dunia. Kelahiran-Nya di tengah gejolak umat manusia sehingga Allah menyatakan keselamatan yang utuh. Yesus lahir dalam kesederhanaan. Palungan dan kain lampin merupakan lambang kesederhanaan. Dalam berbagai tafsir, kain lampin sebagai pembungkus bayi Yesus dan palungan sebagai tempat kelahiran sering ditafsir sebagai penolakan dunia pada kedatangan-Nya. Namun, kita bisa melihat dari sisi lain, kain lampin dan palungan merupakan penerimaan yang penuh kehangatan dan kelembutan yang diberikan bagi Yesus. Palungan bukan sebagai tanda kehinaan melainkan penggenapan nubuatan nabi Yesaya: “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungannya yang sediakan tuannya, tetapi Israel tidak memahaminya” Yes. 1:3. Palungan menjadi tanda pengingat Israel yang hidup dalam keangkuhan. Keangkuhan yang dilakukan oleh Israel adalah abai terhadap sesama umat Allah. Mereka yang berbeda bangsa, suku dan keyakinan dianggap musuh. Palungan merupakan penerimaan dalam kehidupan. Sebagai tempat makan hewan, palungan tidak hanya dimonopoli oleh hewan peliharaan yang mendapat makanan dari tuannya. Melainkan di sekitar palungan, biasanya binatang-binatang lain turut makan di dalam palungan tersebut. 

Kedua, dipanggil para gembala merayakan kelahiran Yesus menunjukkan pentingnya para gembala itu dalam karya penyelamatan Allah. Mereka adalah orang-orang yang menjaga dan merawat kehidupan. Khususnya domba-domba gembalaanya. Pada bagian lain Yesus menyebut dirinya sebagai Gembala yang baik. Bukan sebuah kebetulan, tetapi Allah memanggil mereka yang bersedia memelihara dan merawat kehidupan. Allah berbelah rasa pada mereka yang berjuang demi kehidupan. Keselamatan Allah merupakan penggabungan perkara Ilahi dan duniawi dalam bentuk yang nyata. Dari kisah ini kita belajar bahwa semua orang bisa mengalami kehadiran Ilahi. Mereka yang dianggap tidak mengenal ritual keagamaan, berdosa sekalipun bisa merasakan sapaan Allah.

Ketiga, hari ini telah lahir bagimu seorang juru selamat. Apa yang telah lama dinanti-nantikan, terjadi malam ini. Dia yang datang sebagai sang pembela. Gelar juru selamat (soter) memiliki makna yang penting karena dinyatakan oleh para Malaikat untuk memberitakan kelahiran Yesus. Gelar ini berlatar belakang Perjanjian Lama sebagai Penyelamat atau Mesias yang bertindak membebaskan dengan semangat bela rasa bagi orang-orang yang tertindas, tersingkir dan luput dari perhatian dunia. Bagi para gembala, hadirnya berita gembira sebagaimana yang didengar, dilihat dan dirasakan menimbulkan pengharapan . Pengharapan semakin kuat manakala para Malaikat memuji Allah, “kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Pujian itu digemakan karena Allah mengasihi dunia. Ia datang untuk berbelah rasa dengan umat-Nya.

Keempat, berita dari Malaikat disambut oleh para gembala. “Lalu mereka cepat-cepat berangkat menjumpai Mari dan Yusuf dan bayi itu (ay. 16). Para gembala tidak pasif. Dengan aktif mereka bergerak mencari tanda yang menunjukkan kehadiran Allah. Secara imajinatif kita bisa saja membayangkan, mereka meninggalkan domba-domba, sumber ekonomi mereka. Mereka keluar dari sumber hidup sehari-hari mencari sumber hidup sejati. Atau dengan kata lain, mereka mencari sumber berkat itu. Mereka meninggalkan homo economicus dan menjadi homo religiosus . Upaya aktif meninggalkan kelekatan diri menuntun mereka menemukan pengharapan baru pada sang bayi Natal yang terlahir. Lukas mencatat, “maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengan dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka (ay. 20). Mereka kini memilik cara pandang baru, pengharapan baru sehingga mampu mengalahkan ketakutan dan hidup dalam kegembiraan.

Renungan :

Pertama, Natal Allah merangkul semua umat manusia dari berbagai latar belakang, dan Ia hadir dalam setiap konteks kehidupan. Ia merangkul semua bangsa, agama, suku, ras, dll. Apa indikasinya? Yesus lahir dalam konteks keragaman Israel pada waktu itu. Israel dijajah oleh bangsa Romawi karena keangkuhan mereka sebagai umat pilihan. Kelahiran Yesus dalam konteks yang demikian, menunjukkan bahwa Allah mengasihi semua umat manusia, semua bangsa. Oleh karena itu, perayaan Natal harus membuat kita bertobat dari pemahaman bahwa kitalah pemilik tugal keselamatan. Pemilik tunggal kebenaran. Natal membuat kita terbuka dan merangkul semua orang. Senyum kepada semua orang dan menyapa semua orang dengan kelembutan dan kehangatan, dst...

Kedua, Natal Allah merangkul mereka yang terpinggirkan, terlupakan oleh dunia bahkan dari gereja sendiri. Mereka yang tidak memiliki jabatan dalam gereja, bukan aktivis gereja, untuk terlibat dalam perayaan Natal. 

Pertanyaan adalah? Apakah dekorasi gereja, liturgi gereja, khotbah, dll., dalam gereja memberi ruang kepada mereka untuk terlibat aktif dalam perayaan Natal? Apakah ketika kita membuka rumah (open house) juga terbuka untuk mereka yang tak berkasut, mereka yang setiap hari mengais rezeki di tempat sampah, bukan berpakaian pesta, aroma badan dan pakaian tidak enak tercium? Atau hanya untuk para pejabat gereja, pejabat lain di dalam jemaat kita? Natal Allah merangkul para gembala yang hidup di padang berbulan-bulan untuk memelihara domba. Tidak hanya berhenti setelah Natal, tetapi Ia menjadi Gembala yang baik. Natal akan terus bermakna jika setelah Natal mereka yang terpinggirkan dan terlupakan, gereja terus menjadi gembala bagi mereka. Menggembalakan dan memberi pengharapan bagi mereka. Mereka diberdayakan untuk menjadi saksi Kristus bagi dunia.  

Ketiga, Natal Allah merangkul mereka dan membawa mereka kepada sumber berkat. Mereka tidak hanya gembira saat Natal tetapi kembali ke dalam rumah tangga dan pekerjaan masing-masing dengan gembira dan terus bersyukur kepada Tuhan. Seperti para gembala: “maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka (ay. 20). Amin. FN.


Selamat Merayakan Natal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan Minggu Sengsara Kedua: YESUS MENDERITA AKIBAT DOSAKU (1 Petrus 2:18-25)

Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)

RENUNGAN BULAN KELUARGA: HIDUP DENGAN RASA CUKUP (I TIMOTIUS 6: 2b - 12)