Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)
Ada
sebuah film yang bercerita tentang Perang Dunia II. Beberapa puluh serdadu
Inggris di tawan oleh pihak Jepang di Birma. Di antara prajurit yang tertawan
terdapat seorang Kolonel Inggris yang pantang menyerah sekalipun mengalami
penganiayaan yang hebat. Kebanggaannya sebagai tentara Inggris yang tak kenal
menyerah, yang selalu lebih hebat dari tentara lainnya. Semangatnya tetap
menyala-nyala.
Pada
suatu hari, kolonel itu diperintahkan untuk memimpin anak buahnya membangun
sebuah jembatan di atas Sungai Kwai. Sang kolonel menerima tugas itu. Ia ingin
menunjukkan bahwa tentara Inggris mampu membangun jembatan itu dan lebih hebat
dari bangunan orang Jepang. Padahal bagi tentara Jepang, jembatan itu penting
untuk mendistribusikan alat-alat perang dan bahan makanan. Sang kolonel memberi
semangat kepada rekan-rekannya untuk menunjukkan bahwa tentara Inggris pasti
bisa.
Jembatan
itu makin lama makin mendekati selesai. Tetapi makin lama pula, sang
kolonel makin menjadi fanatik terhadap jembatan tersebut. Jembatan
menjadi proyek monumental, kebanggaan. Tak boleh dirubuhkan. Robohnya jembatan
adalah robohnya sang kolonial. Tetapi jembatan itu harus dirubuhkan ketikan
tentara Inggris datang membebaskan mereka, agar Jepang tidak mengirim bantuan
melalui jembatan tersebut. Tetapi sang kolonel sudah terlanjur fanatik pada
jembatannya; ia tidak rela jembatannya dihancurkan. Ia sudah lupa statusnya
sebagai tentara Inggris.
Cerita
ini menghantar kita kepada perenungan saat ini.
Struktur
teks Matius 21:33-46 termasuk pada minggu sengsara Yesus yang merujuk dengan
dimulai Yesus datang ke Yerusalem dan dielu-elukan. Kemudian perlawanan
kepada-Nya semakin meningkat oleh pemimpin agama Yahudi (Matius 21:23-22:46).
Ketegangan itu terjadi karena perumpamaan yang mengkritik mereka saat mengajar
di Bait Allah. Hal ini termasuk pada bacaan kita saat ini.
Perumpamaan
ini berkaitan dengan dua perikop sebelumnya tentang pertanyaan mengenai kuasa
Yesus dan perumpamaan sebelumnya, yakni dua orang anak serta satu perumpamaan
setelahnya mengenai perjamuan kawin.
Hal
ini dikarenakan kalimat pertama dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap
kebun anggur adalah “dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain (ayat 33).” Pada
Matius 21:23 memperlihatkan bahwa pendengar dari perumpamaan Yesus adalah orang
banyak yang ada di Bait Allah karena sedang mendengarkan pengajaran Yesus,
imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi.
Bila
dilihat secara narasi, perumpamaan Matius 21:33-46 terbagi menjadi dua latar,
yaitu: latar dalam perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur dan Yesus
mengajar di Bait Allah. Pertama, menceritakan tentang seorang
tuan tanah membuka kebun anggur, menanam pagar sekelilingnya, menggali lubang
tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga. Setelah selesai pekerjaannya,
dikatakan bahwa tuan tanah itu menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap
lalu ia berangkat ke negeri lain. Ketika musim panen tiba maka tuan tanah
menyuruh orang untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. Bagian pertama ini,
sudah sangat akrab dengan pendengar Yesus pada saat itu karena seperti hal yang
diungkapkan pada Yesaya 5:1-7 (nyanyian tentang kebun anggur). Persiapan tuan
tanah dalam membuka kebun anggur pada ayat 33 dilukiskan menggunakan kata yang
sama dengan Yesaya 5:2, yaitu mendirikan sebuah menara jaga dan menggali tempat
memeras anggur. Penyewaan tanah sudah lazim dilakukan dengan meminta beberapa
orang untuk bekerja di kebunnya dan menggunakan sistem bagi hasil. Pada zaman
Yesus juga orang kaya yang memiliki banyak tanah di Palestina, hidup di luar
Palestina dan menyewakan tanahnya, sehingga penyewa bertindak bebas sampai
memberontak.
Kedua, di
Bait Allah yang berisi dialog Yesus dengan orang yang mendengar pengajarannya
termasuk imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan orang-orang Farisi. Dialog Yesus
terjadi setelah perumpamaan tentang penggarap-penggarap anggur selesai dengan
anak tuan tanah dibunuh dan Yesus bertanya tentang apa yang dilakukan tuan
tanah kepada penggarap-penggarap tersebut. Respons dari mereka yang
mendengarkan perumpamaan Yesus terdapat dalam ayat 41, yaitu tuan tanah akan
membinasakan penggarap-penggarap kebun anggur yang jahat dan kebun anggurnya
disewakan kepada penggarap-penggarap lain yang akan memberikan pembagian hasil
tepat pada waktunya. Pada akhirnya Yesus menjawab mereka dengan mengutip Mazmur
118:22-23 tentang batu yang dibuang menjadi batu penjuru. Yesus menyelesaikan
pengajarannya dalam perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur dengan
menyatakan tentang Kerajaan Allah. Akhir dari latar di Bait Allah adalah
respons imam-imam kepala dan orang Farisi setelah mendengar
perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Pada
perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur memperlihatkan interaksi
antar tokoh, yaitu tuan tanah, penggarap-penggarap, hamba-hamba yang diutus dan
anak tuan tanah. Tokoh yang aktif memberikan interaksi adalah tuan tanah dan
penggarap-penggarap kebun anggur. Interaksi pertama terdapat di ayat 34-36,
tuan tanah sudah mengetahui waktunya untuk mengambil hasil dari
penggarap-penggarap kebunnya, sehingga ia mengutus hamba-hambanya untuk
menerima hasilnya. Sebanyak dua kali tuan tanah mengirim hamba-hambanya, namun
respons dari penggarap-penggarap itu sama dengan menangkap hambanya, memukul,
membunuh dan melempari dengan batu. Para penggarap tidak bertanggungjawab
dengan menolak membayar hasil panen. Mereka pun tidak menghormati otoritas tuan
tanah sebagai pengirim hamba dan menunjukkan keserakahan dalam memperoleh
hasil.
Interaksi
kedua pada ayat 37-39, yaitu tuan tanah menyuruh anaknya datang ke kebun
anggurnya dengan pemikiran bahwa anaknya akan disegani oleh penggarap-penggarap
kebun anggurnya. Pemikiran tuan tanah memang benar bahwa tingkatan kuasa lebih
tinggi anaknya dibandingkan dengan hamba-hamba utusannya.
Ketika
penggarap-penggarap melihat anak tuan tanah, mereka merundingkan untuk
membunuhnya agar mereka memiliki warisannya. Pada zaman itu terdapat peraturan
bahwa penggarap-penggarap tidak bisa diusir dari kebunnya bila tuan tanah hidup
di luar negeri, meninggal tanpa ahli waris (anak). Namun cara
penggarap-penggarap itu salah dengan membunuh yang pada akhirnya akan mendapat
hukuman yang berat.
Ketamakan
dari penggarap-penggarap merupakan sifat mereka dengan ingin menjadi tuan atas
tanah yang bukan miliknya. Pada dua interaksi dari tuan tanah yang mengutus
hamba-hambanya serta anaknya dan penggarap-penggarap yang merespons kedatangan
utusan tuan tanah memperlihatkan relasi tuan dan hamba dalam bahasa
perumpamaan. Bila dianalisis dalam bingkai kehidupan sosial, tuan tanah adalah
kaum elite atau kelompok atas yang memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Anak tuan tanah merupakan kaum elite yang memiliki
kekuasaan, namun tetap mengikuti hal yang diperintahkan oleh ayahnya dalam
keluarga. Penggarap-penggarap termasuk pada kelompok kelas dua, termasuk para
imam, tidak termasuk hamba atau budak.
Hamba-hamba
yang diutus untuk menerima hasil panen merupakan kaum miskin dapat disamakan
dengan budak yang harus patuh dengan perintah atau keinginan dari tuannya.
Sebenarnya penggarap-penggarap harus tetap taat kepada tuan tanah namun mereka
melakukan pemberontakan. Niat untuk menumpuk kekayaan dan memandang pertemanan
atau persaudaraan dengan melihat keuntungan ekonomis merupakan motivasi
pemberontakan penggarap-penggarap yang seakan akan merasa hanya dimanfaatkan.
Interaksi
di Bait Allah terlihat dalam Matius 21: 40-43, yaitu Yesus dan mereka yang
mendengar dengan pertanyaan Yesus mengenai perlakukan tuan tanah kepada
penggarap-penggarapnya. Pada ayat 41, orang banyak menjawab dengan memberikan
hukuman kepada penggarap-penggarap yang lama dan memberikan kesempatan kepada
penggarap lain untuk mengelola yang akan digambarkan dalam ayat 43.
Pengutipan
Yesus terhadap Mazmur 118:22-23 memberikan pembelaan atau pembenaran atas
pribadi anak tuan tanah yang ditolak oleh penggarap-penggarap kebun anggur.
Maksud dari batu yang dibuang oleh Mazmur 118 adalah berbicara tentang raja
Israel atau seorang Israel yang beriman, namun dalam perumpamaan Yesus
menggunakan batu tersebut pada diri-Nya. Pemberontakan yang dilakukan oleh
penggarap-penggarap tidak menghasilkan hal yang baik, namun penghukuman bagi
mereka.
Pada
ayat 43, Yesus mengaitkan perumpamaan tersebut dengan Kerajaan Surga. Tuan
tanah akan mengambil kembali kehormatannya yang tidak dihargai oleh
penggarap-penggarap kebun anggur yang lama yang dikaitkan dengan pengambilan
Kerajaan Allah kepada mereka yang menolak hamba-hamba utusan dan anak dari tuan
tanah. Tuan tanah akan memberikan kebunnya untuk dikelola oleh
penggarap-penggarap yang baru. Hal ini dikaitkan dengan Kerajaan Allah akan
diberikan kepada bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan yang melimpah.
Respons
imam-imam kepala dan orang-orang Farisi menjadi warna tersendiri ketika Yesus
telah mengakhiri perumpamaannya dengan mengatakan bahwa Kerajaan Allah akan
diambil dari padamu dan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan
buah.
Konflik
kepentingan antara imam-imam kepala dan orang-orang Farisi terlihat dari dalam
Matius 21:46 dengan mencoba menangkap Yesus karena sudah dianggap mengganggu
dengan mengajarkan pengajaran yang berbeda dari pengajaran mereka. Anggota
Mahkamah Agama yang terdiri dari imam-imam kepala, tua-tua dan ahli-ahli Taurat
sebenarnya berhak untuk menangkap orang yang dianggap sebagai seorang pengacau.
Namun niat dari penangkapan Yesus tidak dilakukan karena takut kepada orang
banyak yang menganggap Yesus sebagai nabi.
POKOK-POKOK
RENUNGAN
Kita
berada di minggu sengsara yang pertama. Dari bacaan firman Tuhan saat ini, kita
bisa mencatat beberapa pokok renungan.
Pertama, di
minggu sengsara yang pertama ini, kita belajar untuk berbagi dengan mereka yang
miskin. Hilangkan ketamakan. Ambillah yang menjadi hak kita. Berikan bagian
yang menjadi hak orang lain. Dalam bacaan ini tuan tanah menyuruh hamba-hamba
(hamba=strata sosial yang paling rendah dalam masyarakat yakni orang miskin)
untuk meminta haknya. Penderitaan Yesus untuk memulihkan kembali relasi manusia
dan Allah sehingga manusia tidak kehilangan hak sebagai anak-anak Allah yang
memiliki warisan keselamatan yang telah disediakan oleh Allah. Penderitaan
Yesus untuk merobohkan keangkuhan manusia (cerita sang kolonel) untuk manusia
diselamatkan kembali.
Kedua,
kita belajar dari firman Tuhan saat ini bahwa kadang kita seperti penggarap
kebun anggur, sang kolonel dalam cerita di atas. Kita merasa sebagai pemilik
gereja keluarga, berjasa, sehingga orang lain, marga lain tidak ada hak, tempat
dalam gereja untuk melayani dalam gereja. Bahkan Tuhan Allah sendiri kita
singkirkan karena kita merasa pemilik gereja, tuan gereja. Di minggu sengsara
yang pertama kita diingatkan bahwa kebun anggur itu adalah milik Tuhan, gereja,
seluruh isi dunia ini adalah milik Tuhan. Kita hanya dipercayakan untuk
mengurus gereja, melayani. Oleh karena itu, kita belajar untuk tidak menjadi
tidak sombong. Bukankah sikap kita terhadap gereja sering kali seperti sang
kolonel terhadap jembatannya? Seperti para penggarap kebun anggur? Memilih
sebagai monumen yang harus dipertahankan dengan segala cara, apa pun itu. Kita
belajar dari perkataan rasul Paulus dalam surat Filipi 2:7-8 “Melainkan telah
mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia dan merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati…….”
Ketiga,
kuasa dan wewenang adalah pemberian Tuhan. Tuhan bisa mengambil kepercayaan
tersebut dan memberikan kepada orang lain. Bahkan keselamatan yang ada. Kita
belajar dari cerita ini bahwa penggarap-penggarap merasa diri sebagai pemilik
kebun anggur, padahal mereka hanya diberi kepercayaan saja. Ingatlah cerita
sang kolonial di atas. Dia lupa bahwa dia seorang tawanan. Pengorbanan Yesus
bagi semua orang, semua umat, keselamatan tidak hanya kepada orang tertentu,
kelompok tertentu. Oleh karena itu, jangan merasa diri pemilik tunggal
keselamatan.
Keempat, di
minggu sengsara yang pertama kita diingatkan oleh firman Tuhan bahwa kuasa yang
diberikan, diperoleh, bukan untuk menyingkirkan dan menindas yang kecil, namun
untuk berbagi yakni melayani. Di sini kita menemukan hati Allah yang belas
kasih yang berbagi. Dari cerita ini kita belajar bahwa Tuan Kebun anggur, Tuhan
Allah, mengutus hamba-hamba-Nya untuk meminta bagian bisa berbagi, namun
penggarap melakukan kekerasan kepada hamba-hamba tersebut. Tuhan Allah mengutus
berbagai nabi kepada Israel untuk mengingatkan mereka tentang kasih Allah yang
universal. Namun mereka tetap tertutup. Setiap nabi datang mereka menolak
bahkan membunuhnya. Namun kekerasan tidak mampu membendung kasih Allah sehingga
Ia mengutus Anak-Nya sendiri (ahli waris) untuk berkorban bagi manusia.
Penderitaan yang Ia alami untuk keselamatan kita. Amin.
Komentar
Posting Komentar