Renungan Minggu Sengsara Ketujuh: RAJA DAMAI YANG LEMAH LEMBUT (Matius 21:1-11)

 Awal tahun 2025 kasus kekerasan di NTT meningkat. Sebagaimana yang dikutip dari Kompas.id https://www. sebanyak 75 persen narapidana di NTT adalah pelaku kekerasan seksual. Dari 75 persen, 3.052 narapidana di NTT dipenjara lantaran melakukan kekerasan seksual. 

Selain itu, kita melihat kasus pembunuhan yang terjadi beberapa waktu yang lalu di TTS. Misalnya pembunuhan dua anak gadis oleh ayah, pembunuhan kakak dan keponakan, pembunuhan ibu dan anak. Dan masih banyak lagi kasus kekerasan yang terjadi yang tidak muncul di permukaan. Kita mengenal model-model kekerasan, kekerasan individu, kekerasan struktural, kekerasan budaya, kekerasan kelompok, dll. 

Kasus-kasus kekerasan dilakukan saat umat Kristen merayakan minggu-minggu sengsara. Minggu ini kita berada dalam minggu terakhir sengsara Yesus Kristus. 

Seperti apa yang telah digambarkan, renungan firman Tuhan yang kita refleksikan diberi tema oleh Majelis Sinode GMIT tentang Raja Damai yang Lemah Lembut. 

Lemah lembut adalah sikap rendah hati, penuh kasih, dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Orang yang lemah lembut juga memiliki kemampuan mengendalikan diri dan tidak menyalahgunakan kekuatannya. Dalam Alkitab, kata "lemah lembut" dalam bahasa Ibrani adalah "anaw" dan "rak". Dalam bahasa Yunani, kata "lemah lembut" adalah "praus" yang memiliki beberapa pengertian, yakni tunduk pada kehendak Allah. Mau belajar dan diajari dalam arti tidak sombong untuk menerima pengajaran, lemah lembut. Lembah lembut merupakan sikap batin untuk hidup secara rendah hati. Kelemahlembutan kita belajar dari Yesus Kristus yang menderita, mati dan bangkit untuk kita. 

Bacaan kita saat ini tentang Yesus dielu-elukan di Yerusalem. Sebelum masuk di Yerusalem mereka berada di sebuah bukit. Menurut catatan bahwa bukit itu adalah Bukit Zaitun, tempat orang Yahudi mengharapkan Mesias yang akan datang. Sedangkan Betfage (rumah pohon ara) terdapat di sebuah lereng di bukit tersebut. Sebelum Yesus masuk ke Yerusalem Ia berhenti sejenak di situ. Menurut Welliam Barclay, kedatangan Yesus sudah direncanakan. Tindakan-tindakan dramatis yang dilakukan di Yerusalem merupakan bagian akhir dari kisah kehidupan Yesus. Untuk masuk ke Yerusalem membutuhkan keberanian besar, sebab Ia memasuki kota yang memusuhi-Nya. Kota di mana menurut Yesus sendiri adalah kota yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu (Luk. 13:34-35, Mat. 23:37-39). Di bukit pengharapan akan Mesias dan di “rumah ara” itu Yesus mempersiapkan diri sebagai Mesias yang akan mengorbankan diriNya bagi umat manusia.

Di bukit itu Yesus berpesan kepada beberapa murid-murid untuk pergi ke desa yang terletak di depannya mengambil keledai betina dan dua anaknya yang tertambat lalu dibawa kepadaNya. Menurut beberapa penafsir, induk keledai dibawa juga untuk menjinakan anak keledai. Dengan menyebut kedua anak keledai itu, mau menunjukan bahwa keledai-keledai itu belum pernah ditunggangngi oleh manusia. Menurut J. H. Bavinck, seperti dulu dalam Perjanjina Lama seekor lembu yang hendak dipersembahkan kepada Allah tidak boleh yang sudah kena kuk (Bil. 19:2). Stefan Leks menafsirkan bahwa itu sebagai tanda binatang itu sakral dan juga merupakan kiasan kerendahan hati, lemah lembut dan keyakinan. Berbeda dengan kuda yang merupakan kiasan ketangkasan dan yang suka meringkik, maka kuda merupakan lambang kekuatan dan ketangkasan manusia (Maz. 33:17).

Ayat 7, murid-murid menaruh jubah pada pundak keledai-keledai itu yang hendak dinaiki Yesus. Menurut Guthrie, menghamparkan pakaian dan ranting adalah tanda sambutan Kerajaan (bnd. 2 Raj. 9:13). Maksudnya, ketika Yesus masuk ke Yerusalem mengendarai keledai itu juga merupakan penggenapan Zakaria 9:9, di mana Yesus masuk ke Yerusalem disambut oleh Putri Sion. Putri Sion adalah sebuah ungkapan yang menunjuk kepada penduduk Yerusalem. Yesus hendak berkata Ia datang sebagai Raja yang lemah lembut. Raja yang tidak seperti yang diharapkan bangsa Yahudi.

Putri Yerusalem bersorak dengan nyanyian: Hosiana! Kata Hosiana berasal dari bahasa Ibrani, hosyiana yang berarti berilah kiranya keselamatan. Selain sorakan dan pujian kepada Yesus, ada juga penyebutan gelar Anak Daud. Gelar ini adalah gelar Mesianis. Menurut Bavinck, mereka yang bersorak-sorak itu juga nanti berteriak, salibkan Dia, salibkan Dia, Yesus Mesias diganti dengan Yesus Barabas, kebenaran diganti dengan kejahatan saat harapan tidak tercapai. Orang dekat-Nya menjual-Nya, murid kepercyaan-Nya menyangkal-Nya dan murid-murid yang lainnya melarikan diri.

Kejadian yang dialami Yesus dalam perjalanan-Nya menuju ke Yerusalem oleh Barcley disimpulkan demikian; pertama, peristiwa ini menunjukan keberanian Yesus menyongsong sengsara yang akan dialami-Nya di Yerusalem. Proklamsi kedatangan-Nya merupakan kesiapan menapaki jalan-jalan sengsara-Nya. Proklamasi ini membuat Yesus berani memasuki Yerusalem dengan terus terang, bukan dengan sembunyi-sembunyi. Apakah dengan demikian Yesus mencari-cari kesengsaraan? Tidak. Ia masuk memberi pesan bahwa setiap orang harus berani menghadapi penderitaan karena melaksanakan misi Allah. Mereka yang berani menghadapi penderitaan adalah mereka yang siap menyongsong keberhasilan, kemenangan dan kehidupan. Untuk mengupayakan kebenaran dan kehidupan butuh keberanian, ketaatan, konsisten dan kerendahan hati. Kedua, kedatangan Yesus ke Yerusalem merupakan klaim-Nya sebagai Mesias yang diurapi. Di Yerusalem klaim Yesus itu akan ditanggapi dengan penerimaan dan penolakan. Ketiga, kisah ini mengungkapkan himbauan-Nya tentang pengakuan kerajaan. Tetapi Ia tidak mengklaim takhta kerajaan duniawi melainkan takhta di dalam hati manusia untuk menyambut Dia sebagai Raja. Ia datang dengan rendah hati, mengendarai keledai. Di dunia timur keledai adalah binatang yang anggun. Seorang raja yang naik keledai adalah raja yang membawa pesan perdamaian, sedangkan raja yang datang menaiki kuda adalah raja yang membawa gempita peperangan. Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah Raja yang rendah hati dan membawa pesan perdamaian.

POKOK-POKOK RENUNGAN

Pertama, berjalan bersama Sang Raja yang lemah lembut adalah berjalan dalam kerendahan hati, kelemah-lembutan yang membawa pesan perdamaian. Minggu ini merupakan minggu terakhir perenungan kita akan kesengsaraan Yesus. Hari Jumat nanti kita memperingati Jumat Agung, mari kita menanggalkan dosa keangkuhan, kesombongan dan belajar dari Yesus serta memandang kepada Yesus yang menderita dan mati untuk kita. Berita yang harus kita bawa baik secara lisan maupun tertulis pada status di media sosial adalah berita perdamaian bukan berita peperangan, kekerasan. Jangan “menunggangi kuda yang meringkik membawa pesan peperangan”. 

Kedua, untuk mengupayakan kebenaran dan kehidupan butuh keberanian dan konsisten walaupun berbagai resiko akan dialami. Ada orang yang konsisten memperjuangkan kebenaran dan kehidupan, lalu mereka ditolak dibully bahkan diancam dan dianiaya. Dia dianggap pengkhianat oleh kelompok itu, jika dia dalam sebuah sistem kelembagaan maka dia dimutasikan di daerah “pembuangan”. Kelompok itu adalah mereka yang memiliki kepentingan politik seperti orang-orang Yahudi termasuk murid-murid di dalamnya

Yesus sadar bahwa Ia akan mengalami penderitaan bahkan sampai mati, Ia tahu bahwa melalui jalan tersebut kehidupan baru akan muncul. Yesus telah melewati jalan itu, karena itu Ia akan bersama-sama dengan kita berjalan mengahadapi penderitaan dan memampukan kita untuk berani serta konsiten menolak ketidakbenaran, melawan kekuatan-kekuatan memunahkan kehidupan.

Ketiga, Yesus telah menderita, mati dan bangkit untuk kita, janganlah nyanyian sukacita hosiana diganti dengan salibkan Dia, salibkan Dia, atau menjual-Nya hanya karena harta, makanan, pakaian, uang saat harapan kita tidak tercapai. Yesus telah menggenapi semua di atas kayu salib. Mari kita berada dalam perenungan kesengsaraan Yesus dan perayaan dengan nyanyian hosiana. 

Keempat, Yesus Kristus Sang Raja yang lemah lembut, kelemahlembutan memampukan setiap pengikut Yesus, gereja, menentang segala kekerasan yang terjadi, namun bukan dengan kekerasan tetapi kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi dengan cara yang bijak untuk mendapatkan keadilan. Dengan tidak menyalahgunakan kekuatan atau kuasa yang dimiliki. 

Kelima, Di minggu sengsara terakhir, mari kita belajar dari Yesus. Jika selama ini Anda dan saya selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan segala sesuatu, terhadap orang yang Anda dan saya pimpin, suami, istri dan anak-anak dalam rumah mari kita sadar dan bertobat. Penderitaan dan kematian Yesus telah menanggung semua kekerasan. Stop kekerasan dan menolak setiap kekerasan dalam bentuk apa pun. Ikutilah teladan Sang Raja yang lemah lembut. Amin. FN. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan Minggu Sengsara Kedua: YESUS MENDERITA AKIBAT DOSAKU (1 Petrus 2:18-25)

Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)

RENUNGAN BULAN KELUARGA: HIDUP DENGAN RASA CUKUP (I TIMOTIUS 6: 2b - 12)