MEMAKNAI KEADILAN DAN BELAS KASIH TUHAN (YOHANES 8:1-11)


Fokus penafsiran tradisional menekankan tokoh Yesus sebagai guru yang setia, hakim yang adil dan pengasih. Perempuan adalah seorang berdosa. Dari judulnya saja sudah bermasalah yakni “perempuan yang berzinah,” tafsiran melihat perempuan sebagai penyebab dosa patut dikasihani dan diampuni oleh Yesus dan orang lain.  

Dalam cerita ini Yesus ada di Bait Allah dan duduk mengajar. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat hendak mencobai Dia sehingga membawa seorang perempuan yang dikatakan berzinah. Namun tuduhan terhadap perempuan ini tidak ada bukti sebab dengan siapa ia berzinah. Jika Yesus menyuruh untuk merajamnya, maka Yesus akan ditangkap oleh pemerintah Romawi, sebab Yesus akan dituduh melakukan keributan pada hari raya Pondok Daun. Jika Yesus membebaskannya maka melanggar hukum Taurat dan sudah pasti bukanlah Mesias. 

Dari cerita ini kita mencatat beberapa poin:

Pertama, tuduhan yang dikenakan kepada perempuan tersebut. Istilah moicheia bisa berarti “adultery,” “inter- course” yang berarti “berzinah” atau “hubungan seksual.” Selain menunjuk kepada tindakan persetubuhan yang dilakukan dengan pasangannya, tetapi juga bisa menunjuk kepada sebuah tindakan kekerasan seksual. LAI menerjemahkan kata moichea artinya berzinah (seorang perempuan yang kedapatan telah berbuat zinah ay. 3). 

Perzinahan dalam konteks Yahudi sangat kompleks dan terkait dengan bentuk hukuman yang dikenakan bagi pelaku perzinahan. Perzinahan bukan saja mencakup pelanggaran moral secara fisik, tetapi juga mencakup hati. Menurut Greenberg, ada standar ganda mengenai perzinahan. Jika seorang laki-laki yang menikah terlibat dalam hubungan seksual dengan seorang perempuan yang tidak menikah, hal itu tidak dapat dianggap sebagai perzinahan. Namun jika seorang perempuan yang telah menikah berhubungan seksual dengan seorang laki-laki yang tidak menikah, tindakan itu dipandang berzinah dan keduanya dihukum. Standar ganda ini berkembang karena seorang laki-laki bisa memiliki lebih dari satu istri atau gundik, sementara seksualitas perempuan dianggap sepadan dengan milik eksklusif seorang laki-laki. Hal tersebut nampak dalam ay. 4 “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.” 

 Lalu kita bertanya: siapakah laki-laki yang bersama perempuan tersebut? Mengapa dalam teks tersebut tidak disinggung di mana atau bagaimana laki-laki tersebut? Apakah laki-laki itu termasuk dalam arak- arakan yang membawa perempuan tersebut, ataukah termasuk salah satu tokoh agama yang mengadili? Yang jelas, sampai akhir cerita, tidak sedikit pun teks ini mengulas di manakah laki-laki itu. Laki-laki itu seakan-akan menghilang ditelan bumi. Apakah memang perempuan ini adalah seorang pendosa, ataukah justru Ia menjadi salah satu korban dari permainan politik para penguasa yang ingin menjebak Yesus? Bagi saya, perempuan tersebut dikorbankan atau diobjekkan untuk kepentingan politik penguasa dan tokoh agama.

Kedua, perempuan yang “membisu”. Apakah karena perempuan tersebut memilih diam? Ataukah karena struktur sosial yang menyebabkan perempuan tersebut mesti tutup mulut (tidak bersuara)? Dalam bagian akhir kisah ini, ternyata perempuan tersebut bersuara. Menurut Browning, dalam tradisi Yahudi, laki-laki adalah penguasa mutlak dalam lingkungan keluarga besar. Perempuan tidak memiliki kuasa apa pun bahkan tindakan zinah diancam dengan hukuman mati (bdk. Im. 20:10; Ul. 22:22; Ezr. 16:40; 1 Kor. 14:34-35). Salah satu bentuk kekerasan dan dominasi budaya patriarkhi atas nama budaya dan agama nampak dalam teks ini, di mana para tokoh agama tersebut membawa perempuan yang kedapatan berbuat zinah dan menempatkannya di tengah-tengah dan menurut Hukum Musa harus dilempari dengan batu sampai mati” (ayat 3 dan 5).

 Ada 3 sikap yang ditampilkan Yohanes melalui sosok Yesus: 

Pertama, Yesus yang memilih diam, sama seperti juga dalam teks ini yang menggambarkan sejak awal perempuan tersebut bersikap diam. Dengan kata lain, keberdiaman tersebut pada satu sisi menunjuk kepada situasi yang sedang dialami dibawah dominasi penguasa, tetapi di sisi lain, sikap diam merupakan sebuah kritikan terhadap dominasi budaya patriarkhi yang menindas dan tidak adil. 

Kedua, Yesus membungkuk. Kata “membungkuk” (terjemahan LAI) berasal dari istilah Yunani kato kupsas yang berarti sikap berhenti, di bawah, paling rendah (lower/lowest). Bahwa sesungguhnya manusia adalah sangat terbatas dan rentang dengan kerapuhannya. Karena itu tidak mesti menghakimi orang lain atas kesalahannya. Sikap Yesus tentunya bertentangan dengan realitas di mana laki-laki yang memegang kuasa (mendominasi).

Ketiga, Yesus menulis dengan jarinya di tanah. Dalam teks Alkitab, kata tangan atau jari selalu terkait erat dengan aspek kekuasaan. Apa yang Yesus tulis? Dia membungkuk dan menulis di tanah. Hal itu diungkapkan dalam kisah ini sebanyak 2 kali (ayat 6 dan 8). Tidak jelas apa yang sedang ditulis Yesus, sebab teks ini pun tidak menjelaskannya. Kita mungkin dapat menggunakan keterangan dari dalam PL (bdk. Kel. 34 :1, bahwa di loh batu yang baru, akan ditulis perintah/hukum2 oleh Allah). 

Dari sini kita dapat menyebutkan bahwa Yesus sedang menulis hukum yang baru yakni hukum kasih. Kekuasaan berdasar pada hukum kasih. Tindakan yang Yesus lakukan merupakan sebuah otokritik terhadap kekuasaan agama dan budaya yang sering kali disalahgunakan. Yesus mengambil posisi yang rendah bahkan lebih rendah dari perempuan. Yesus bukan saja telah memberikan teladan tetapi sikap Yesus adalah sebuah otokritik terhadap dominasi budaya patriarkhi yang selama ini menekan dan menindas. Tetapi rupanya mereka tidak memahami apa yang Yesus lakukan. Mereka terus bertanya atau mendesak Yesus. Kali ini Yesus tidak menjawab mereka secara langsung (karena Yesus tahu mereka sedang menjebak-Nya). Yesus menggunakan strategi yang ampuh untuk menjawabnya. Yesus justru balik bertanya: ”barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu” (ay.7). Yesus kemudian menulis sekali lagi, kemudian pergilah mereka satu persatu karena merasa dirinya tidak pernah tidak berbuat dosa.

Tindakan Yesus memiliki makna Yesus melawan praktik kekerasan tanpa kekerasan. Yesus melakukan hal itu. Dari sisi spiral kekerasan, tindakan Yesus merupakan sebuah gerakan dan perjuangan, melawan kekerasan melalui cara kesenyapan atau kediaman. Yesus bukan saja peduli tapi juga terbuka merangkul mereka yang lemah, tertindas dan menderita. Tindakan Yesus mengundang perempuan tersebut untuk ambil bagian dalam karya pembebasan/keselamatan dari Allah. Yesus memberikan sebuah model bagi terwujudnya demokrasi yang setara bagi perempuan dan laki-laki.

Keempat, pertanyaan yang dilontarkan Yesus kepada perempuan tersebut. Pertanyaan ini Yesus ajukan bukan karena Ia tidak mengetahui kepergian ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu. Tapi sebuah pertanyaan yang memberikan ruang bagi perempuan untuk berkomunikasi dan berelasi dengan bebas tanpa diintimidasi. Ternyata perempuan itu diam kini menjadi bersuara, yang tidak nampak kini menjadi nampak dan menegaskan identitasnya. Yesus bukan saja meruntuhkan kebisuan perempuan tersebut tapi Yesus menghadirkan masa depan yang baru, sebuah era kebebasan bagi perempuan. Jawab perempuan itu, “tidak ada Tuhan.” Kata tersebut sangat pendek tetapi mengandung makna yang mendalam. Kata oudeis berarti “tidak ada seorangpun.” Kata ini memecahkan kebisuan perempuan. Ia tidak lagi men jadi orang yang bisu (diam) tapi kini telah bebas. 

POKOK-POKOK RENUNGAN

Pertama, keadilan dan belas kasih bisa terjadi apabila kita “melihat ke bawah bukan ke atas” seperti Yesus yang menunduk dan menulis di tanah. Rasul Paulus menggambarkan dengan indah dalam Filipi 2:6-8. Choan-seng Song, salah seorang teolog Asia, menyatakan bahwa misi bukan sebuah garis lurus, melainkan garis bundar. Ia bukan sebuah gerakan linear melainkan gerakan konsentris. Ia tidak menghakimi melainkan merangkul. Itulah yang dilakukan oleh Yesus dalam cerita ini.

Kedua, keadilan dan belas kasih memulihkan mereka yang dituduh dan dihakimi dalam masyarakat karena dianggap bersalah karena struktur budaya, agama, politik, dll. Mereka tak bisa bersuara karena struktur budaya dan agama. Perempuan itu tidak bisa berbicara. Dia digiring ke hadapan Yesus, namun Yesus tidak menghukumnya, ia memulihkan dan kini dia bebas berbicara. 

Berbicara tentang keadilan dan belas kasih dalam rumah dan masyarakat, maka kita memberi ruangan kepada mama dan anak-anak, memberikan ruang kepada orang-orang kecil memberikan pendapat, dst.... Anda dan saya (gereja) berbicara tentang keadilan dan belas kasih, maka kita memberikan kepada mereka kehilangan pengharapan karena ketidakadilan budaya, ekonomi, politik, dll.

Ketiga, berbicara tentang keadilan dan belas kasih, maka memberikan kesadaran kepada mereka yang suka menuduh dan menghakimi. Bukan dengan kekerasan tetapi kerendahan hati untuk merangkul. Nurani mereka yang akan menyadarkan mereka. Bukan menghukum mereka. Yesus menyadarkan para penuduh (pemimpin agama) bahwa walapun mereka orang bertoga juga adalah orang berdosa. Yesus tidak menuduh perempuan tetapi Ia mengatakan pergi dan jangan berbuat dosa lagi.

Keempat, berbicara tentang keadilan dan belas kasih, Anda dan saya membuka sebuah masa depan yang baru, sebuah era kebebasan. Perempuan. Orang-orang kecil yang dulu tidak dianggap ada (hadir), yang awalnya menjadi objek (diobjekkan), kini menjadi subjek dan aktif, yang dulu menderita dan ditekan, kini boleh bangkit dan merayakan kebebasannya. Jawaban pe rempuan tersebut hendak menegaskan kembali jati diri (identitasnya) sebagai seorang pribadi yang mendapat anugerah keselamatan dari Yesus, menjadi pribadi yang mandiri dan otonom, yang selanjutnya bias memberi makna dalam kehidupannya, bersama-sama dengan para laki-laki (Yesus). FN.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan Minggu Sengsara Kedua: YESUS MENDERITA AKIBAT DOSAKU (1 Petrus 2:18-25)

Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)

RENUNGAN BULAN KELUARGA: HIDUP DENGAN RASA CUKUP (I TIMOTIUS 6: 2b - 12)