KETAKUTAN DIHILANGKAN OLEH SAMBUTAN TERHADAP SEORANG PELAYAN

 

KETAKUTAN DIHILANGKAN OLEH SAMBUTAN TERHADAP SEORANG PELAYAN
Semangat vikaris di Klasis Pantar Barat kembali hidup setelah mendengar cerita dari beberapa orang tua melalui telpon dan SMS. Hari Selasa, 2 Mei 2017, saya bersama rombongan vikaris se-Tribuana berangkat dengan menumpang kapal fery Kupang-Kalabahi. Sebagai salah satu anak yang lahir besar di gunung, di pulau timor, jarang melihat laut jelas merasa takut. Saya lihat laut setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas. Pada waktu itu saya dengan beberapa teman dari Betun mengantar bahan bangunan rumah ke Osmo. Setiba di Osmo semalam kami tak bisa tidur karena dari ketinggian Osmo melihat ke bawah pantai Nunhila lampu-lampu yang menyala di setiap bagan di dalam laut sesuatu yang baru bagi kami. Tak puas dengan itu, paginya kami turun ke pinggir pantai untuk melihat dengan jelas. Di situlah saya tahu itu laut.

Ketika di atas fery tak muncul rasa takut dalam diri saya karena bercerita dan bercanda ria dengan temam-teman vikaris. Kami tiba di Kalabahi hari Rabu pagi. Tapi kami belum bisa melanjutkan pelayaran ke Pantar. Kami vikaris Klasis Pantar Barat menginap di rumahnya bapak Pdt. Yakobus Pulamau, Ketua Majelis Klasis Alor Barat Laut.
Dalam hati saya perahu model apa yang akan kami tumpang esok? Katanya berlayar dari Kalabahi ke Pantar Barat memakan waktu empat atau lima jam. Ketakutan saya mulai muncul. Semalaman tak bisa tidur. Rasa takut mempengaruhi pikiran dan seluruh tubuh sehingga paginya saya merasa lemas. Bapak Pdt. Pulamau mewajibkan semua harus makan sebelum berangkat. Saya makan tapi pikiran saya sepertinya sudah di atas perahu walaupun model perahu yang akan kami tumpang belum lihat. Setelah makan kami diantar ke dermaga perahu motor Tamakh. Setelah turun dari mobil yang mengantar kami, barang-barang langsung dibawa masuk oleh anak buah kapal ke perahu motor tersebut.
Saya masuk dalam perahu itu duduk dan tidak bergerak karena takut goyangngannya walaupun belum bertolak. Saya duduk jauh dari teman-teman vikaris yang lain. Tak mau bercerita. Saatnya perahu bertolak. Suara hati saya terus berdoa. Setiap kali gelombang menerpa perahu, saya selalu berdoa dalam hati, "Tuhan tolong, selamatkan kami." Lama kelamaan saya duduk baru merenungkan lalu tertawa sendiri. Manusia dalam keadaan takut karena terancam, maka di situlah setiap saat berdoa dan memohon keselamatan. Orang Kupang bilang "aer su di batang leher baru bateriak Tuhan."

Mau bersandar baru merasa ke kamar kecil. Saya membayangkan di tengah-tengah pelayaran dipaksa untuk ke kamar mandi.
Sebelum perahu bersandar saya memandang ke dermaga orang banyak yang telah menanti kami. Kami turun orang-orang yang menanti kami telah berdiri berbaris untuk menyelami kami. Sambutan keramahan, sapaan dan senyuman mereka seperti obat menghilangkan rasa takut dan kuatir saya. Mereka menyambut dengan hati yang gembira. Benar, kata Amsal Salomo, "hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengerikan tulang."
ALOR: Alamnya Lestari Orangnya Ramah.
Kami disuguhkan pemandangan alam yang indah sepanjang berlayar. Gugusan pulau-pulau yang di pisahkan dengan selat. Setiap pulau ujungnya menjulang tinggi seolah setiap saat tak henti menengadah ke Sang Pencipta untuk memuji-Nya.

Kami dibawah untuk istirahat di rumah pastori Jemaat Ebenhaezer Tamakh, kampung halamannya Pdt. Yunus Kaytulang.

Setiap orang yang datang menyalami kami dengan sapaan “shalom” sambil menundukkan kepala. Tak ada yang lalu lalang di depan kami saat duduk beristirahat.

Bagi saya ini pemaknaan dan aplikasi dari perkataan Tuhan Yesus, "barangsiapa siapa yang menyambut utusan-Nya maka mereka menyambut Aku."

Saat itulah saya sadar bahwa kami ini utusan dari Tuhan melalui GMIT.
Kami dijamu dengan makanan dan minuman.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pastori Klasis di Maliang.

Bersambung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan : MENDOAKAN HIDUP, MENGHIDUPI DOA (Lukas 11:1-13)

Renungan Minggu Sengsara Kedua: YESUS MENDERITA AKIBAT DOSAKU (1 Petrus 2:18-25)

Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)