KETAKUTAN DIHILANGKAN OLEH SAMBUTAN TERHADAP SEORANG PELAYAN
Ketika
di atas fery tak muncul rasa takut dalam diri saya karena bercerita dan
bercanda ria dengan temam-teman vikaris. Kami tiba di Kalabahi hari Rabu pagi.
Tapi kami belum bisa melanjutkan pelayaran ke Pantar. Kami vikaris Klasis
Pantar Barat menginap di rumahnya bapak Pdt. Yakobus Pulamau, Ketua Majelis
Klasis Alor Barat Laut.
Dalam hati saya perahu model apa yang akan kami tumpang esok? Katanya berlayar
dari Kalabahi ke Pantar Barat memakan waktu empat atau lima jam. Ketakutan saya
mulai muncul. Semalaman tak bisa tidur. Rasa takut mempengaruhi pikiran dan
seluruh tubuh sehingga paginya saya merasa lemas. Bapak Pdt. Pulamau mewajibkan
semua harus makan sebelum berangkat. Saya makan tapi pikiran saya sepertinya
sudah di atas perahu walaupun model perahu yang akan kami tumpang belum lihat.
Setelah makan kami diantar ke dermaga perahu motor Tamakh. Setelah turun dari
mobil yang mengantar kami, barang-barang langsung dibawa masuk oleh anak buah kapal ke perahu motor tersebut.
Saya masuk dalam perahu itu duduk dan tidak bergerak karena takut goyangngannya
walaupun belum bertolak. Saya duduk jauh dari teman-teman vikaris yang lain.
Tak mau bercerita. Saatnya perahu bertolak. Suara hati saya terus berdoa.
Setiap kali gelombang menerpa perahu, saya selalu berdoa dalam hati,
"Tuhan tolong, selamatkan kami." Lama kelamaan saya duduk baru
merenungkan lalu tertawa sendiri. Manusia dalam keadaan takut karena terancam,
maka di situlah setiap saat berdoa dan memohon keselamatan. Orang Kupang bilang
"aer su di batang leher baru bateriak Tuhan."
Mau
bersandar baru merasa ke kamar kecil. Saya membayangkan di tengah-tengah
pelayaran dipaksa untuk ke kamar mandi.
Sebelum perahu bersandar saya memandang ke dermaga orang banyak yang telah
menanti kami. Kami turun orang-orang yang menanti kami telah berdiri berbaris
untuk menyelami kami. Sambutan keramahan, sapaan dan senyuman mereka seperti
obat menghilangkan rasa takut dan kuatir saya. Mereka menyambut dengan hati
yang gembira. Benar, kata Amsal Salomo, "hati yang gembira adalah obat yang
manjur, tetapi semangat yang patah mengerikan tulang."
ALOR: Alamnya Lestari Orangnya Ramah.
Kami disuguhkan pemandangan alam yang indah sepanjang berlayar. Gugusan
pulau-pulau yang di pisahkan dengan selat. Setiap pulau ujungnya menjulang
tinggi seolah setiap saat tak henti menengadah ke Sang Pencipta untuk
memuji-Nya.
Kami dibawah untuk istirahat di rumah pastori Jemaat Ebenhaezer Tamakh, kampung halamannya Pdt. Yunus Kaytulang.
Setiap
orang yang datang menyalami kami dengan sapaan “shalom” sambil menundukkan
kepala. Tak ada yang lalu lalang di depan kami saat duduk beristirahat.
Bagi
saya ini pemaknaan dan aplikasi dari perkataan Tuhan Yesus, "barangsiapa
siapa yang menyambut utusan-Nya maka mereka menyambut Aku."
Saat
itulah saya sadar bahwa kami ini utusan dari Tuhan melalui GMIT.
Kami dijamu dengan makanan dan minuman.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pastori Klasis di Maliang.
Bersambung.....
Komentar
Posting Komentar