MEMORI MENJALANI MASA VIKARIAT DI KLASIS PANTAR BARAT : AKHIRNYA BISA DI KLASIS YANG SAYA TIDAK MEMINTA DALAM DOA!
MEMORI MENJALANI MASA VIKARIAT DI KLASIS PANTAR BARAT : AKHIRNYA BISA DI KLASIS YANG SAYA TIDAK MEMINTA DALAM DOA!
Saat
tarik lot penempatan vikaris pada tahun 2017, di aula kantor Sinode Gereja Masehi Injili di
Timor (GMIT), saya dapat di Klasis Pantar Barat. Itu tak terduga. Doa saya selama
mengikuti tes vikaris meminta kepada Tuhan untuk saat penempatan vikaris di
pulau timor.
Ketika
gulingan kertas putih itu dibuka tak disangka di Klasis Pantar Barat. Semangat
vikaris saya hilang. Semua teman2 bersorak ria menyaksikan peristiwa yang
mendebarkan itu, karena seolah nasib penempatan vikaris ditentukan oleh
segulung kecil kertas putih yang bertuliskan nama Klasis.
Semangat
yang patah membuat saya harus turun perlahan dari setiap anak tangga kantor sinode dengan muka yang murung. Perenungan dan pergulatan yang sangat kuat
dalam batin ini.
"Apakah
Tuhan tidak mendengar doa saya? Selama saya mengambil keputusan menyerahkan
diri seorang diri untuk Tuhan, Ia tak pernah salah menjawab doa saya. Tapi kali
ini Tuhan tidak menjawab doa saya. Klasis Pantar di mana?" Kekuatiran dan
protes saya kepada Tuhan sebagai manusia.
Semangat
saya menurun, langkah kaki saya perlahan menuruni setiap anak tangga. Handphone
(HP) saya berdering dalam saku celana. Saya mengeluarkan HP dan melihat
panggilan dari mama Pdt. Yuliana Banunu II,
"Kakak dapat di mana?" tanya mama Yuli, sapaan akrab kami.
"Klasis
Pantar Barat, mama," jawab saya dengan nada yang lesu.
"Kakak, bersyukur.
Pantar Barat itu Kanaan. Mama dan bapak pernah tugas di Alor dan tahu
persis," katanya. Kalimat itu sepertinya hendak membuat saya kembali
melangkah ke atas. Ketika selesai telpon saya sudah di lantai satu dan menuju
ke pintu keluar. Berdiri sejenak melepaskan ketegangan dan kekecewaan sambil
merenungkan perkataan mama Pdt. Yuliana Banunu.
Ibu pdt. Yuli sekeluarga menjadi orang tua dan motivator bagi saya ketika masih
di Oesapa. Tuhan menyediakan keluarga dan orang tua bagi saya di mana pun saya
pergi. Saya teringat kata-kata Tuhan, "yang menjadi saudara-Ku laki-laki
dan perempuan, ibu-Ku, adalah mereka yang melakukan kehendak bapa-Ku."
Berdiri di pembatas samping kantor.
Tiba-tiba ada pertanyaan dari samping saya berdiri. "Adi Frans, dapat di
mana?" Saya balik ke arah suara itu ternyata bapak pdt. Victor Nenohai.
Beliau orang pertama yang saya kenal dan berinisiatif menyekolahkan saya di
Fakultas Teologi saat bertugas di Jemaat Ebenhaezer Betun, Klasis Belu.
"Klasis Pantar Barat, bapak," jawab saya. Sepertinya saya diingatkan
kembali saat pertanyaan beliau belasan tahun yang lalu saat kami di atas sepeda
motor.
"Bagus itu kakak, dulu bapak vikaris di Pantar," katanya. Akhir
cerita saya kembali naik ke lantai tiga. Semangat saya kembali pulih. Hendak
masuk di dalam ruangan, HP saya berdering lagi. Panggilan dari salah satu orang
tua bagi saya di Kupang, motivator yang hebat, guru sekaligus bapak, pdt. Semuel Nitti,
"Frans, dapat vikaris di mana?" tanya beliau. "Pantar Barat,
bapak," jawab saya. "Iya," jawab bapak dengan singkat. Tapi saya
diingatkan oleh kata-kata bapak Nitti, baik di rumah dan di atas kendaraan,
"Frans, kamu bisa." Bapak mengerti latar belakang dan psikologi saya
sebagai anak kampung. Itu yang membuat saya terus belajar untuk menjadi orang
yang bisa.
Kemudian saya duduk kembali di tempat duduk untuk mengikuti arahan selanjutnya.
Akhirnya
saya bisa menyelesaikan masa vikariat di Klasis yang saya tidak meminta. Benar,
Klasis Pantar Barat itu tanah Kanaan.
Bersambung .........
Komentar
Posting Komentar