BELAJAR DARI RITUS HANIKIT DAN SANUT MAPUTU DI AMANUBAN TIMUR (Pdt. Frans Nahak)
a.
Pendahuluan
Dalam sejarah masyarakat Nusantara telah mengenal
kearifan lokal dalam tatanan kehidupan
sosial yang membawa masyarakatnya kepada kebijakan mengelola berbagai
elemen alam. Untuk
mengelola elemen alam tersebut, maka setiap suku memiliki ritualnya sendiri.
Ritual merupakan sebuah kearifan lokal, yang bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman tentang
manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman tentang
manusia, alam, dan bagaimana relasi dengan yang
ilahi. Di mana hal-hal tersebut dihayati, dipraktekkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi yang
lain.[1] Kearifan
lokal dimaknai sebagai
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang dilakukan
oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah kehidupan mereka.[2] Menurut S. Keraf, hakikat kearifan lokal sebagai
pedoman yang dapat menuntun manusia
dalam berperilaku dan bertindak, jika
melanggar salah satunya maka ada bahaya yang mengancam kehidupan.[3]
Ancaman tersebut menurut C. A. van
Peursen, bahwa manusia terkepung oleh kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu berada
di mana-mana, yang sewaktu-waktu mempengaruhi dan mengancam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, untuk menciptakan hubungan yang damai, seimbang, maka manusia
patut menciptakan aturan dan tingkah laku sebagai bingkai. Aturan tersebut
berupa tata cara penyembahan, ritual, kepada sumber-sumber kekuatan gaib, kepada
alam sekitar di mana manusia mencari nafkah kehidupannya.[4]
Sebelum agama Kristen Protestan
masuk ke wilayah Timor Tengah Selatan (TTS) penduduk menganut agama suku. Orang
Atoni telah memiliki keyakinan terhadap Yang Ilahi yang memiliki hubungan
dengan kosmologi.[5]
Ritus dan adat memiliki hubungan yang sangat erat. F.H. Fobia mengungkapkan
bahwa ritus dan adat dikatakan senyawa. Ibarat gula yang melarut di dalam air,
demikian juga hubungan di antara agama suku dengan adat istiadat masyarakat
tradisional.[6]
Junus E. E. Inabuy mengatakan bahwa komunitas tradisional orang Atoni secara
kosmologi pada umumnya membagi dunia atas dua dunia yang nyata dan tidak nyata;
yakni dunia natural dan dunia supranatural.[7]
Komunitas tradisional itu mengalami eksistensinya di dalam hubungan yang utuh
dan menyeluruh baik dengan sesama mau pun, makhluk lain dan dunia supranatural.[8]
Karena itu bagi orang Atoni, menurut Piet Manehat, memandang dirinya citra yang
berada dengan orang lain atau insan yang hidup bersama dengan wujud lain di
dunia.[9]
Orang Timor memandang dunia dan lingkungan sekitarnya, air, kebun atau ladang
sebagai suatu dunia yang kecil (mikro) di antara dunia besar/luar
(makro-kosmos). Alam sekitar mempunyai kekuatan karena itu harus membina
hubungan yang baik dengan alam dan yang ilahi.[10]
Jika terjadi bencana, malapetaka, kegagalan, yang dialami oleh seseorang maka
ada kerusakan relasi dan hal ini akan menjadi ancaman bagi manusia.
Kegagalan dalam menciptakan iklim yang harmonis antara dua dunia itu akan mendatangkan malapetaka dan kekacauan. Dunia sakral (makrokosmos) yang penuh dengan rahasia dianggap memiliki daya-daya yang penuh dengan rahasia yang melampaui manusia dan kemampuan-kemampuannya. Untuk menjinakkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang mengancam hidup manusia di dunia mikrokosmos ini, maka manusia berkewajiban untuk melakukan upacara-upacara, ritus-ritus, persembahan disertai dengan kurban hewan sambil melantungkan doa-doa permohonan sebagai tindakan penyembahan yang ditujukan kepada Wujud Tertinggi.[11]
PEMBAHASAN
Bangsa Belanda tiba di Pulau Timor
pada tahun 1914, namun mereka belum langsung menetap, tetapi kembali ke
Batavia. Belanda baru kembali ke Pulau Timor pada tahun 1967.[12]
Mereka datang menyebarkan agama Protestan, mengambil kayu cendana dan lilin
secara barter dengan komoditi industri.[13]
Belanda melakukan kampanye program etis yang disebut kampanye pasifikasi. Kampanye
tersebut untuk memajukan kerohanian (agama), pendidikan, kesehatan, dan
kehidupan keagamaan rakyat jajahannya.[14]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1965 tragedi G-30, penduduk Indonesia
diwajibkan memeluk salah satu agama resmi di Indonesia. Para penganut agama
lokal dipandang sebagai ateis dan karena itu komunis, yang menjadi sasaran
penghancuran oleh Negara. Banyak orang menjadi Kristen dalam situasi terpaksa.[15]
Pada saat yang sama di TTS, terjadi apa yang disebut gerakan kebangunan rohani.
Semua simbol-simbol agama suku dimusnahkan, namun demikian masih ada beberapa
ritus yang dilaksanakan salah satunya adalah ritus sanut maputu dan hainikit.
Pengaruh Kekristenan saat ini, tidak semua orang melakukan ritus tersebut sebab
mereka diajar untuk berdoa bersama lalu membawa persembahan ke gereja.[16]
Meskipun demikian, ritus sanut maputu dan
hainikit masih banyak dilakukan di beberapa
tempat dalam komunitas-komunitas suku Meto.
Ritus ini dilaksanakan dalam dua peristiwa
yakni penyembuhan orang sakit dan pendinginan besi berupa alat-alat tukang,
mobil atau sepeda motor yang baru dibeli.
1. Ritus yang Dilaksanakan
a. Ritus Penyembuhan Orang Sakit
Ritus dilakukan kepada orang-orang
yang mengalami penyakit yang dianggap parah seperti patah tulang dan
pendarahan karena kecelakaan, yang dibutuhkan ritus khusus sebagai pengobatan
dan ritus pendinginan setelah pasien sembuh.
Empat malam pertama dalam masa
perawatan dipandang sebagai masa penuh kritis. Jika masa empat malam itu
dilewati, maka pasien itu akan selamat betapa pun parahnya. Jika masa empat
hari ini dilewati, diadakan apa yang disebut sanut
maputu atau poilin maputu (menurunkan
atau membuang panas). Untuk sanut maputu,
biasanya keluarga pasien menyiapkan ayam atau babi. Di suku-suku tertentu ayam
ditentukan, biasanya ayam berawarna merah. Dalam acara ritual semua keluarga
yang membantu korban diundang untuk hadir. Ritus pendinginan akan berlaku pula
bagi mereka. Hewan tersebut akan dibunuh, lalu darahnya dipercikan ke sisi
ramuan yang dipakai untuk merawat si sakit. Sisa ramuan yang dipercikan darah
binatang lalu dihanyutkan ke dalam sungai dengan pakaian yang dipakai si sakit
ketika kecelakaan itu terjadi. Untuk daerah-daerah yang letaknya jauh dari
aliran sungai, biasanya sisa ramuan yang dipercikan darah binatang dan pakaian
si korban dibuang ke dalam hutan atau tempat lain yang jauh letaknya dari
perkampungan. Biasanya ramuan itu dibuang si penyembuh sambil mengucapkan terima
kasih serta mengharapkan bantuan lagi pada waktu yang akan datang. Pada hari ke
delapan biasanya tanda-tanda kehidupan mulai nampak.
Kesembuhan purna dari si pasien disyukuri
dengan ritus hainikit yang dilakukan
dengan memercikan santan kelapa kepada si pasien maupun seluruh undangan yang
hadir, yakni mereka yang ada ketika si pasien mengalami kecelakaan. Hal ini
dimaksud agar panas dari si sakit yang mengenai mereka pada saat kecelakaan
juga turut didinginkan. Setelah itu keluarga si pasien memberikan sejumlah uang
kepada si penyembuh. Tidak ada tarif yang disepakati. Pemberian ini bermaksud
untuk tsenat fain hau nu (menanam
kembali tumbuhan yang telah diambil).
b. Ritus Pendinginan Besi
Ritus manikit dilaksanakan saat seseorang membeli sebuah kendaraan baru
baik mobil maupun sepeda motor. Setelah dibeli dan dibawa ke rumah si pembeli,
pemilik mobil ini mengajak seisi rumah, keluarga terdekat dibawah ke sungai
yang mengalir untuk melakukan ritual di sana. Pemilik mobil membeli seekor
kambing atau babi dibawa untuk dibunuh di sana. Sebelum dibunuh, salah seorang
mengucapkan sepatah kata, namun karena pengaruh agama Kristen kata-kata
tersebut diganti dengan doa. Setelah itu binatang tersebut dibunuh di tengah
sungai yang airnya sementara mengalir lalu darahnya dibiarkan mengalir dalam
air. Si pendoa menimba air yang mengalir itu lalu menyiram kendaraan tersebut, kemudian
daging binatang tersebut dibakar dan semua hadir diwajibkan untuk makan
bersama. Tidak boleh ditinggalkan atau membawa daging tersebut kembali ke
rumah. Tulang binatang dihanyutkan dalam sungai. Tujuan dari ritus ini adalah
mendinginkan kendaraan tersebut, supaya saat kendaraan digunakan terhindar dari
kerusakan atau kecelakaan. Menurut Martinus Bahan, dengan adanya korban
binatang dalam ritual tersebut maka kerusakan dan kecelakaan telah dibersihkan
dan dibawah oleh air yang mengalir.[17]
Dari ritus sanut maputu dan hainikit, kita
dapat menemukan beberapa tema. Tema-tema ini merupakan inti budaya dan nilai-nilai
teologis lokal dan mendialogkan dengan pandangan teologi Kristen. Tema-tema itu
antara lain: gambaran tentang Yang Ilahi, hubungan manusia dan alam,
pembersihan.
a.
Hubungan dengan yang Ilahi
Dalam sistem kepercayaan orang Atoni,
Ilah tertinggi disebut Uisneno
(tuhan langit) atau tuhan yang maha kuasa. Dalam ritus Uisneno, disembah dalam berbagai
cara sebagaimana Ia memanifestasikan dirinya
dalam berbagai bentuk atau wujud. Misalnya, sebagai buaya atau
matahari atau bulan yang memberi
kebenaran (tetus) memberi kedamaian (oetenun), kesejukan (manikin) hikmat
atau kepandaian (apinat).[18]
Dalam keyakinan orang Atoni, Uisneno mencakup tuhan langit dan tuhan bumi dan karena itu Uisneno
dipahami dan diyakini dalam dua wujud kehadiran, yaitu uisneno mnanu, yaitu tuhan langit yang yang tidak kelihatan dan uisneno pala yang mengidentifikasikan diri dalam bentuk
buaya dalam air sungai atau danau (nifu) sebagai tuan air (uis
oe) berbentuk ular piton atau
sebagai uis
meto (tuhan dari tanah kering). Sebagai
uisneno mnanu yang
di langit ia selalu memberikan kehangatan menyebabkan pergantian musim dan waktu yang di dalamnya petani menanam dan menuai. Karena uisneno mnanu
adalah ilah
tertinggi maka tugas
uisneno pala adalah menyampaikan doa-doa yang disampaikan oleh orang Atoni kepada uisneno mnanu. Kadang-kadang uisneno pala itu diidentifikasikan
dengan roh atau arwah para leluhur
agar dapat menyampaikan doa-doa tersebut.
Pemahaman orang Meto tentang Ilahi
ada pula titik pisah dengan teologi Kristen. Titik pisah yaitu mistis-panteisme
(segala sesuatu adalah ilah, allah). Di mana uisneno pala yang mengidentifikasi diri dalam bentuk buaya, tuan
air, dll. Dalam teologi Kristen Allah mengidentifikasi diri-Nya melalui Yesus
Kristus, Allah yang transenden menjadi Allah yang Imanen.
Allah yang Imanen adalah pencipta
dan penguasa langit dan bumi. Tidak ada dunia ciptaan yang tersembunyi bagi
Allah. Bumi adalah ladang kerja Allah. Kejadian 1 mengatakan bahwa Allah menata
kembali alam semesta yang dalam keadaan kacau-balau (khaos) menjadi tertata, tersusun dengan baik (kosmos).
Kita berhadapan dengan perbedaan
konsep tentang Yang Ilahi dari dua tradisi ini. Teologi Kristen berbicara
tentang Trinitas, sedangkan orang Timor mengungkapkan dalam kategori ganda.
Bahasa-bahasa itu bersifat metaforis atau gambaran alam. Itu berarti apa yang
kita katakan tentang Allah hanyalah sebuah ungkapan yang terbatas tentang
hakikat Allah yang tidak terbatas itu. Bahasa kita tidak dapat secara penuh menggambarkan
siapa itu Allah. Dari gambaran Trinitas dari tradisi Kristen maupun tradisi
ganda dalam tradisi Timor kita melihat kemiripan gambaran tentang Allah dari
masing-masing tradisi bersifat komunal dan relasional. Tradisi bersifat komunal
merupakan nilai yang harus terus dirawat untuk menciptakan persekutuan
(koinonia).
b.
Hubungan Manusia dan Alam
Bagi masyarakat tradisional
Amanuban, alam dipahami sebagai ibu yang menyusui dan masyarakat adalah bayi
yang hidup bergantung dari ibunya. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa
seorang ibu, oleh karena itu manusia akan selalu bergantung pada alam dan tidak
bisa hidup sendiri.[19]
Menurut keyakinan orang Meto, Yang
Ilahi dan alam dua dunia memiliki hubungan yang harmonis. Ketika manusia gagal
menciptakan iklim yang harmonis antara dua dunia, maka akan mendatangkan
malapetaka dan kekacauan.[20]
Dunia Ilahi yang penuh dengan rahasia
yang dianggap memiliki daya-daya rahasia, melampaui manusia dan
kemampuan-kemampuannya. Untuk menjinakkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang
mengancam hidup manusia, maka manusia berkewajiban menjaga manusia dan alam
agar tetap harmonis. Salah satu cara untuk menjaga keharmonisan manusia dan
alam ialah melakukan ritus sanut maputu dan
hainikit. Dari dua ritus tersebut
kita melihat bagaimana keterikatan dan ketergantungan manusia dari alam. Ramuan
diambil dari alam dan manusia harus mengembalikan kepada alam tsenat fain hau nu.
Dalam kisah-kisah penciptaan
(Kejadian 1 dan Kejadian 2) alam dihidupkan oleh Allah dan menjadi sumber
kehidupan. Alam memiliki nilai dalam dirinya. Memiliki daya dari Pencipta untuk
menumbuhkan kehidupan dan manusia diberi kuasa (kabash) (Kej. 1:28). Walaupun kata “berkuasa” bisa mereduksi alam
(tanah) tidak lebih dari satu “benda” atau “barang” yang manusia boleh
taklukan. Kata kabash sebenarnya diartikan pula “memiliki” sebagai mana seorang
raja “memliki” dengan memimpin menggembalakan bertanggungjawab atas nasibnya.
Jadi manusia berkuasa atas alam untuk memelihara dengan penuh rasa
tanggungjawab.
Orang Meto percaya dengan
pemeliharaan alam sehingga ada hubungan yang harmonis antara dunia mikrokosmos
dan dunia makrokosmos (yang Tertinggi bertahta). Manusia dan makhluk hidup
berdampingan dalam sebuah oikos. Allah sebagai pusat dari alam semesta. Nilai dan ciptaan lainnya hanya memiliki nilai dalam
lingkung ciptaan Allah.[21] Robert
Borrong, mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada berada
dalam suatu hubungan yang harmonis dan berpusat pada Allah.
Alam merupakan ciptaan yang baik dan juga telah dikuduskan di dalam penebusan
Kristus serta tetap berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.[22]
Manusia
merupakan bagian dari alam. Lebih lanjut Borrong, menekankan bahwa manusia
dibentuk dari alam, yaitu tanah (Kej. 2:7).[23]
Hal itu menunjukkan bahwa adanya ikatan dan keterkaitan bahkan ketergantungan
manusia terhadap alam. Manusia merupakan
satu spesies di antara spesies
lainnya, saling bergantung dan
saling membutuhkan satu sama lain.
Namun perlu disadari oleh manusia, komunitas pepohonan dan semua tumbuhan pasti terus hidup tanpa memerlukan
binatang dan manusia tetapi tidak mungkin sebaliknya. Binatang dan manusia
tidak mungkin hidup tanpa pohon, hutan, dan tumbuhan,[24]
namun hutan bisa hidup tanpa manusia. Fakta ini secara ekoteologis
mengungkapkan bahwa sang pencipta sudah menaruh pada pohon dan segenap tumbuhan
suatu unsur vital yang tidak dimiliki oleh binatang dan manusia, tetapi yang
binatang dan manusia sangat bergantung padanya, yakni ilmu biologi menyebutnya chlorophyl. Ia adalah basis kehidupan
karena kehidupan semua makhluk hidup agar bisa hidup. Air dan hutan menyimpan
unsur ekosistem pendukung kehidupan terutama air dan oksigen.[25]
Pelbagai
Makna Simbolis
Dalam ritual
sanut maputu dan hainikit air merupakan salah satu
sarana dan simbol yang penting. Di dalam Alkitab, air menjadi metafora yang
membantu umat untuk menggumuli dan mengungkapkan pelbagai aspek kehidupan
mereka, teristimewa juga hubungan mereka dengan Tuhan.
a. Air Pembasuhan, Penahiran, dan Penghapusan Dosa
Umat Israel
tidak hanya menjaga kebersihan air dan sumbernya, tetapi tentu juga menggunakan
air untuk kebersihan diri (Kel. 2:5), pembasuhan kaki (Yoh. 13:5), pencucian
pakaian (Kel. 19:10, 14), dan pembasuhan segala perkakas dapur (Mrk. 7:4). Dari
fungsi air sebagai sarana pencucian dalam hidup sehari-hari ini berkembanglah
peran penting air dalam ritus-ritus penyucian, yakni penahiran kembali orang
atau barang yang dengan salah satu cara telah dinajiskan.
Sebab-sebab
kenajisan di Israel ada aneka macam, misalnya karena kontak dengan jenazah atau
bangkai, atau bersentuhan dengan orang yang sakit kulit, atau karena makan
binatang yang tidak halal, atau karena mengalirnya air mani, menstruasi, atau
juga karena melahirkan anak (Im. 11 – 15).
Dalam
kasus-kasus kenajisan yang lebih berat, seperti misalnya bersentuhan dengan
orang yang sakit kusta, upacara penahiran harus menggunakan air hidup, artinya
air yang mengalir terus dan dengan demikian tetap bersih (Im. 14:5, 50), atau
menggunakan air yang ditambah dengan unsur-unsur khusus, seperti abu yang
tersisa dari kurban pembakaran lembu betina merah (Bil. 19:2-10).
Yesus dan
murid-murid-Nya kemudian mengabaikan pembasuhan ritual itu (Mrk. 7:2-6),
maksudnya tentu bukan untuk mengabaikan kebersihan. Bagi Yesus, penahiran
ritual hanya menyentuh sisi luar, sedangkan Ia mengharapkan agar sisi dalam
manusia, yakni hatinya, dijadikan bersih dan suci juga (Luk. 11:37-41). Karena
itu, Yohanes Pembaptis membaptis orang dengan air Sungai Yordan dengan tujuan
agar mereka dibersihkan dari dosa-dosa mereka. Ia memperkenalkan Yesus sebagai
Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus (Mrk. 1:4-8). Tekanan pada Roh itu
tidak berarti bahwa Yesus mengabaikan peranan air, seperti tampak dari ajakan
kepada Nikodemus agar ia “dilahirkan dari air dan Roh” (Yoh. 3:5).
Petrus dan
jemaat perdana akan meneruskan pembaptisan dengan air dan Roh Kudus sebagai
tanda nyata bahwa dosa-dosa orang dihapus (Kis. 2:38). Air yang membersihkan
sisi fisik manusia menjadi lambang efektif pembersihan batin atau hati manusia.
Pandangan
orang Meto dan Alkitab memiliki kemiripan di mana ritual sanut maputu dan hainikit di
dalam air yang mengalir. Air untuk membersihkan, mendinginkan.
KESIMPULAN
Kita
hidup dalam dunia modern, salah satu dampak bagi generasi muda adalah individualistik.
Generasi muda di desa juga mulai
punya sikap individualis. Kepedulian terhadap sesama mulai memudar, sebagai
salah satu gejala perilaku ini. Gotong royong dan tolong-menolong yang dahulu
menjadi ciri khas masyarakat desa, perlahan mulai luntur seiring dengan
kebersamaan yang mulai memudar.
Faktor sosial budaya dan kemajuan
teknologi akan mempermudah pelaksanaan kegiatan, sehingga manusia merasa bisa
melakukan segala hal sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, faktor
ekonomi juga mendorong munculnya sikap individualis. Ini berkaitan dengan
persaingan ekonomi yang bertambah keras dan berat. Misalnya, minimnya lapangan
pekerjaan yang tersedia, membuat orang jadi bertambah fokus pada dirinya
sendiri dan acuh terhadap orang lain. Kemudian krisis
lingkungan merupakan salah satu persoalan yang dihadapi saat ini, krisis tersebut menyebabkan terjadi tanah longsor saat musim hujan dan musim panas terjadi kekeringan. Oleh karena itu, dari pembahasan tentang ritus sanut maputu dan hainikit, kita memperoleh nilai-nilai teologis dan spiritualitas hubungan
antara yang Ilahi, manusia dan alam tidak bisa dipisahkan.
Dari ritus tersebut mengajarkan
jemaat tentang kerja sama, kaloborasi di antara jemaat untuk membangun
kehidupan. Dalam hidup yang serba instan ritus tersebut mengajarkan tentang
sebuah proses kehidupan, di mana proses itu melibatkan pihak lain.
Ritus sanut maputu dan hainikit mengajarkan
tentang menjaga keharmonisan dan keseimbangan manusia dan alam. Selain
mengambil dari alam dan juga mengembalikan tsenat
fain hau nu. Kemudian dari ritus ini juga mengajarkan tentang sumber-sumber
air yang ada. Air adalah lambang kehidupan, pembersihan dan kesejukan. Air
menyucikan manusia dari segala macam kenajisan yang mendatangkan malapetaka
bagi manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Borrong,
P. Robert, Etika Bumi Baru,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Fobia,F.H.
Perjumpaan Injil dan Adat di Timor Tengah
Selatan, Kupang: Panitia Sidang Sinode GMIT, 2003.
Fajarini,U. Peranan kearifan
lokal dalam pendidikan karakter, Jakarta: PT
Gramedia, 2014.
Inabuy, E.E. Junus, “Nilai
Proteksi inklusif Rumah (ume) Komunitas Amarasi Pulau Timor Bagi Prespektif
Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam “Demokrasi Pribumi: Membangun Sistem
Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal,” Yokyakarta:
Bonet Pinggupir, 2014.
Keraf, A. S. Etika Lingkungan
Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010.
Manehat,
Piet, “Pandangan orang Timor terhadap
alam sekitar,” dalan “Kebudayaan sebuah agenda dalam bingkai pulau Timor
dan sekitarnya” Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Kolimon,
Mery, Misi Pemberdayaan :
Prespektif Teologi Feminis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2022.
Middelkoop, Pieter, Curse, Retribution, Enmity as Data in Natural
Religion, Especially in Timor, Confronted with the Scripture (Amsterdam: Jacob van
Campen, 1960).
Neonbasu, Gregor, Skesta Dasar Mengenal Manusia dan Masyarakat , Jakarta: BUKU
KOMPAS, 2020.
Neonbasu, Gregor, Skesta Dasar: mengenal manusia dan masyarakat, Jakrata: Kompas,
2014.
Paterson
M. Robert, Kitab Imamat. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994.
Tristanso,
A. Lukas, Hidup
Dalam Realitas Alam, Yogyakarta:
Kanisius, 2016.
Thamrin, H, Kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan (the lokal wisdom in enveronmental sustainable), Jakarta: PT Gramedia, 2013.
Martinus
Bahan (78 tahun), Wawancara, Minggu,
17 September 2023.
Komentar
Posting Komentar