BELAJAR DARI RITUS HANIKIT DAN SANUT MAPUTU DI AMANUBAN TIMUR (Pdt. Frans Nahak)

 


a.     Pendahuluan

            Dalam sejarah masyarakat Nusantara telah mengenal kearifan lokal dalam tatanan kehidupan sosial yang membawa masyarakatnya kepada kebijakan mengelola berbagai elemen alam. Untuk mengelola elemen alam tersebut, maka setiap suku memiliki ritualnya sendiri. Ritual merupakan sebuah kearifan lokal, yang bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman tentang manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi dengan yang ilahi. Di mana hal-hal tersebut dihayati, dipraktekkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.[1] Kearifan lokal dimaknai sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah kehidupan mereka.[2] Menurut S. Keraf, hakikat kearifan lokal sebagai pedoman yang dapat menuntun manusia dalam berperilaku dan bertindak, jika melanggar salah satunya maka ada bahaya yang mengancam kehidupan.[3]

            Ancaman tersebut menurut C. A. van Peursen, bahwa manusia terkepung oleh kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu berada di mana-mana, yang sewaktu-waktu mempengaruhi dan mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan hubungan yang damai, seimbang, maka manusia patut menciptakan aturan dan tingkah laku sebagai bingkai. Aturan tersebut berupa tata cara penyembahan, ritual, kepada sumber-sumber kekuatan gaib, kepada alam sekitar di mana manusia mencari nafkah kehidupannya.[4]

            Sebelum agama Kristen Protestan masuk ke wilayah Timor Tengah Selatan (TTS) penduduk menganut agama suku. Orang Atoni telah memiliki keyakinan terhadap Yang Ilahi yang memiliki hubungan dengan kosmologi.[5] Ritus dan adat memiliki hubungan yang sangat erat. F.H. Fobia mengungkapkan bahwa ritus dan adat dikatakan senyawa. Ibarat gula yang melarut di dalam air, demikian juga hubungan di antara agama suku dengan adat istiadat masyarakat tradisional.[6] Junus E. E. Inabuy mengatakan bahwa komunitas tradisional orang Atoni secara kosmologi pada umumnya membagi dunia atas dua dunia yang nyata dan tidak nyata; yakni dunia natural dan dunia supranatural.[7] Komunitas tradisional itu mengalami eksistensinya di dalam hubungan yang utuh dan menyeluruh baik dengan sesama mau pun, makhluk lain dan dunia supranatural.[8] Karena itu bagi orang Atoni, menurut Piet Manehat, memandang dirinya citra yang berada dengan orang lain atau insan yang hidup bersama dengan wujud lain di dunia.[9] Orang Timor memandang dunia dan lingkungan sekitarnya, air, kebun atau ladang sebagai suatu dunia yang kecil (mikro) di antara dunia besar/luar (makro-kosmos). Alam sekitar mempunyai kekuatan karena itu harus membina hubungan yang baik dengan alam dan yang ilahi.[10] Jika terjadi bencana, malapetaka, kegagalan, yang dialami oleh seseorang maka ada kerusakan relasi dan hal ini akan menjadi ancaman bagi manusia.

            Kegagalan dalam menciptakan iklim yang harmonis antara dua dunia itu akan mendatangkan malapetaka dan kekacauan. Dunia sakral (makrokosmos) yang penuh dengan rahasia dianggap memiliki daya-daya yang penuh dengan rahasia yang melampaui manusia dan kemampuan-kemampuannya. Untuk menjinakkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang mengancam hidup manusia di dunia mikrokosmos ini, maka manusia berkewajiban untuk melakukan upacara-upacara, ritus-ritus, persembahan disertai dengan kurban hewan sambil melantungkan doa-doa permohonan sebagai tindakan penyembahan yang ditujukan kepada Wujud Tertinggi.[11]

PEMBAHASAN

            Bangsa Belanda tiba di Pulau Timor pada tahun 1914, namun mereka belum langsung menetap, tetapi kembali ke Batavia. Belanda baru kembali ke Pulau Timor pada tahun 1967.[12] Mereka datang menyebarkan agama Protestan, mengambil kayu cendana dan lilin secara barter dengan komoditi industri.[13] Belanda melakukan kampanye program etis yang disebut kampanye pasifikasi. Kampanye tersebut untuk memajukan kerohanian (agama), pendidikan, kesehatan, dan kehidupan keagamaan rakyat jajahannya.[14] Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1965 tragedi G-30, penduduk Indonesia diwajibkan memeluk salah satu agama resmi di Indonesia. Para penganut agama lokal dipandang sebagai ateis dan karena itu komunis, yang menjadi sasaran penghancuran oleh Negara. Banyak orang menjadi Kristen dalam situasi terpaksa.[15] Pada saat yang sama di TTS, terjadi apa yang disebut gerakan kebangunan rohani. Semua simbol-simbol agama suku dimusnahkan, namun demikian masih ada beberapa ritus yang dilaksanakan salah satunya adalah ritus sanut maputu dan hainikit. Pengaruh Kekristenan saat ini, tidak semua orang melakukan ritus tersebut sebab mereka diajar untuk berdoa bersama lalu membawa persembahan ke gereja.[16] Meskipun demikian, ritus sanut maputu dan hainikit masih banyak dilakukan di beberapa tempat dalam komunitas-komunitas suku Meto. 

            Ritus ini dilaksanakan dalam dua peristiwa yakni penyembuhan orang sakit dan pendinginan besi berupa alat-alat tukang, mobil atau sepeda motor yang baru dibeli.

1.     Ritus yang Dilaksanakan

a.     Ritus Penyembuhan Orang Sakit

            Ritus dilakukan kepada orang-orang yang mengalami penyakit yang dianggap parah seperti patah tulang dan pendarahan karena kecelakaan, yang dibutuhkan ritus khusus sebagai pengobatan dan ritus pendinginan setelah pasien sembuh.

            Empat malam pertama dalam masa perawatan dipandang sebagai masa penuh kritis. Jika masa empat malam itu dilewati, maka pasien itu akan selamat betapa pun parahnya. Jika masa empat hari ini dilewati, diadakan apa yang disebut sanut maputu atau poilin maputu (menurunkan atau membuang panas). Untuk sanut maputu, biasanya keluarga pasien menyiapkan ayam atau babi. Di suku-suku tertentu ayam ditentukan, biasanya ayam berawarna merah. Dalam acara ritual semua keluarga yang membantu korban diundang untuk hadir. Ritus pendinginan akan berlaku pula bagi mereka. Hewan tersebut akan dibunuh, lalu darahnya dipercikan ke sisi ramuan yang dipakai untuk merawat si sakit. Sisa ramuan yang dipercikan darah binatang lalu dihanyutkan ke dalam sungai dengan pakaian yang dipakai si sakit ketika kecelakaan itu terjadi. Untuk daerah-daerah yang letaknya jauh dari aliran sungai, biasanya sisa ramuan yang dipercikan darah binatang dan pakaian si korban dibuang ke dalam hutan atau tempat lain yang jauh letaknya dari perkampungan. Biasanya ramuan itu dibuang si penyembuh sambil mengucapkan terima kasih serta mengharapkan bantuan lagi pada waktu yang akan datang. Pada hari ke delapan biasanya tanda-tanda kehidupan mulai nampak.

            Kesembuhan purna dari si pasien disyukuri dengan ritus hainikit yang dilakukan dengan memercikan santan kelapa kepada si pasien maupun seluruh undangan yang hadir, yakni mereka yang ada ketika si pasien mengalami kecelakaan. Hal ini dimaksud agar panas dari si sakit yang mengenai mereka pada saat kecelakaan juga turut didinginkan. Setelah itu keluarga si pasien memberikan sejumlah uang kepada si penyembuh. Tidak ada tarif yang disepakati. Pemberian ini bermaksud untuk tsenat fain hau nu (menanam kembali tumbuhan yang telah diambil).

b.     Ritus Pendinginan Besi

            Ritus manikit dilaksanakan saat seseorang membeli sebuah kendaraan baru baik mobil maupun sepeda motor. Setelah dibeli dan dibawa ke rumah si pembeli, pemilik mobil ini mengajak seisi rumah, keluarga terdekat dibawah ke sungai yang mengalir untuk melakukan ritual di sana. Pemilik mobil membeli seekor kambing atau babi dibawa untuk dibunuh di sana. Sebelum dibunuh, salah seorang mengucapkan sepatah kata, namun karena pengaruh agama Kristen kata-kata tersebut diganti dengan doa. Setelah itu binatang tersebut dibunuh di tengah sungai yang airnya sementara mengalir lalu darahnya dibiarkan mengalir dalam air. Si pendoa menimba air yang mengalir itu lalu menyiram kendaraan tersebut, kemudian daging binatang tersebut dibakar dan semua hadir diwajibkan untuk makan bersama. Tidak boleh ditinggalkan atau membawa daging tersebut kembali ke rumah. Tulang binatang dihanyutkan dalam sungai. Tujuan dari ritus ini adalah mendinginkan kendaraan tersebut, supaya saat kendaraan digunakan terhindar dari kerusakan atau kecelakaan. Menurut Martinus Bahan, dengan adanya korban binatang dalam ritual tersebut maka kerusakan dan kecelakaan telah dibersihkan dan dibawah oleh air yang mengalir.[17]     

            Dari ritus sanut maputu dan hainikit, kita dapat menemukan beberapa tema. Tema-tema ini merupakan inti budaya dan nilai-nilai teologis lokal dan mendialogkan dengan pandangan teologi Kristen. Tema-tema itu antara lain: gambaran tentang Yang Ilahi, hubungan manusia dan alam, pembersihan.

a.     Hubungan dengan yang Ilahi

            Dalam sistem kepercayaan orang Atoni, Ilah   tertinggi disebut Uisneno (tuhan langit) atau tuhan yang maha kuasa. Dalam ritus Uisneno, disembah dalam berbagai cara sebagaimana Ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk atau wujud. Misalnya, sebagai buaya atau matahari atau bulan yang memberi kebenaran (tetus) memberi kedamaian (oetenun), kesejukan (manikin) hikmat atau kepandaian (apinat).[18]

            Dalam keyakinan orang Atoni, Uisneno mencakup tuhan langit dan tuhan  bumi dan karena itu Uisneno dipahami dan diyakini dalam dua wujud kehadiran, yaitu  uisneno mnanu, yaitu tuhan langit yang yang tidak kelihatan dan uisneno pala yang mengidentifikasikan diri dalam bentuk buaya dalam air sungai atau danau (nifu) sebagai tuan air (uis oe) berbentuk ular piton atau sebagai uis meto (tuhan dari tanah kering). Sebagai uisneno mnanu yang di langit ia selalu memberikan kehangatan menyebabkan pergantian musim dan waktu yang di dalamnya petani menanam dan menuai. Karena uisneno mnanu adalah ilah tertinggi maka tugas uisneno pala adalah menyampaikan doa-doa yang disampaikan oleh orang Atoni kepada uisneno mnanu. Kadang-kadang uisneno pala itu diidentifikasikan dengan roh atau arwah para leluhur agar dapat menyampaikan doa-doa tersebut.

            Pemahaman orang Meto tentang Ilahi ada pula titik pisah dengan teologi Kristen. Titik pisah yaitu mistis-panteisme (segala sesuatu adalah ilah, allah). Di mana uisneno pala yang mengidentifikasi diri dalam bentuk buaya, tuan air, dll. Dalam teologi Kristen Allah mengidentifikasi diri-Nya melalui Yesus Kristus, Allah yang transenden menjadi Allah yang Imanen.

            Allah yang Imanen adalah pencipta dan penguasa langit dan bumi. Tidak ada dunia ciptaan yang tersembunyi bagi Allah. Bumi adalah ladang kerja Allah. Kejadian 1 mengatakan bahwa Allah menata kembali alam semesta yang dalam keadaan kacau-balau (khaos) menjadi tertata, tersusun dengan baik (kosmos).

            Kita berhadapan dengan perbedaan konsep tentang Yang Ilahi dari dua tradisi ini. Teologi Kristen berbicara tentang Trinitas, sedangkan orang Timor mengungkapkan dalam kategori ganda. Bahasa-bahasa itu bersifat metaforis atau gambaran alam. Itu berarti apa yang kita katakan tentang Allah hanyalah sebuah ungkapan yang terbatas tentang hakikat Allah yang tidak terbatas itu. Bahasa kita tidak dapat secara penuh menggambarkan siapa itu Allah. Dari gambaran Trinitas dari tradisi Kristen maupun tradisi ganda dalam tradisi Timor kita melihat kemiripan gambaran tentang Allah dari masing-masing tradisi bersifat komunal dan relasional. Tradisi bersifat komunal merupakan nilai yang harus terus dirawat untuk menciptakan persekutuan (koinonia).

b.     Hubungan Manusia dan Alam

            Bagi masyarakat tradisional Amanuban, alam dipahami sebagai ibu yang menyusui dan masyarakat adalah bayi yang hidup bergantung dari ibunya. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang ibu, oleh karena itu manusia akan selalu bergantung pada alam dan tidak bisa hidup sendiri.[19]

            Menurut keyakinan orang Meto, Yang Ilahi dan alam dua dunia memiliki hubungan yang harmonis. Ketika manusia gagal menciptakan iklim yang harmonis antara dua dunia, maka akan mendatangkan malapetaka dan kekacauan.[20] Dunia Ilahi  yang penuh dengan rahasia yang dianggap memiliki daya-daya rahasia, melampaui manusia dan kemampuan-kemampuannya. Untuk menjinakkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang mengancam hidup manusia, maka manusia berkewajiban menjaga manusia dan alam agar tetap harmonis. Salah satu cara untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam ialah melakukan ritus sanut maputu dan hainikit. Dari dua ritus tersebut kita melihat bagaimana keterikatan dan ketergantungan manusia dari alam. Ramuan diambil dari alam dan manusia harus mengembalikan kepada alam tsenat fain hau nu.

            Dalam kisah-kisah penciptaan (Kejadian 1 dan Kejadian 2) alam dihidupkan oleh Allah dan menjadi sumber kehidupan. Alam memiliki nilai dalam dirinya. Memiliki daya dari Pencipta untuk menumbuhkan kehidupan dan manusia diberi kuasa (kabash) (Kej. 1:28). Walaupun kata “berkuasa” bisa mereduksi alam (tanah) tidak lebih dari satu “benda” atau “barang” yang manusia boleh taklukan. Kata  kabash sebenarnya diartikan pula “memiliki” sebagai mana seorang raja “memliki” dengan memimpin menggembalakan bertanggungjawab atas nasibnya. Jadi manusia berkuasa atas alam untuk memelihara dengan penuh rasa tanggungjawab.

            Orang Meto percaya dengan pemeliharaan alam sehingga ada hubungan yang harmonis antara dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos (yang Tertinggi bertahta). Manusia dan makhluk hidup berdampingan dalam sebuah oikos. Allah sebagai pusat dari alam semesta. Nilai dan    ciptaan lainnya hanya memiliki nilai dalam lingkung ciptaan Allah.[21] Robert Borrong, mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada berada dalam suatu hubungan yang harmonis dan berpusat pada Allah. Alam merupakan ciptaan yang baik dan juga telah dikuduskan di dalam penebusan Kristus serta tetap berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.[22]

                  Manusia merupakan bagian dari alam. Lebih lanjut Borrong, menekankan bahwa manusia dibentuk dari alam, yaitu tanah (Kej. 2:7).[23] Hal itu menunjukkan bahwa adanya ikatan dan keterkaitan bahkan ketergantungan manusia terhadap alam. Manusia merupakan satu spesies di antara spesies lainnya, saling bergantung dan saling membutuhkan satu sama lain. Namun perlu disadari oleh manusia, komunitas pepohonan dan semua  tumbuhan pasti terus hidup tanpa memerlukan binatang dan manusia tetapi tidak mungkin sebaliknya. Binatang dan manusia tidak mungkin hidup tanpa pohon, hutan, dan tumbuhan,[24] namun hutan bisa hidup tanpa manusia. Fakta ini secara ekoteologis mengungkapkan bahwa sang pencipta sudah menaruh pada pohon dan segenap tumbuhan suatu unsur vital yang tidak dimiliki oleh binatang dan manusia, tetapi yang binatang dan manusia sangat bergantung padanya, yakni ilmu biologi menyebutnya chlorophyl. Ia adalah basis kehidupan karena kehidupan semua makhluk hidup agar bisa hidup. Air dan hutan menyimpan unsur ekosistem pendukung kehidupan terutama air dan oksigen.[25]

Pelbagai  Makna Simbolis

            Dalam ritual sanut maputu dan hainikit air merupakan salah satu sarana dan simbol yang penting. Di dalam Alkitab, air menjadi metafora yang membantu umat untuk menggumuli dan mengungkapkan pelbagai aspek kehidupan mereka, teristimewa juga hubungan mereka dengan Tuhan.

a.     Air Pembasuhan, Penahiran, dan Penghapusan Dosa

            Umat Israel tidak hanya menjaga kebersihan air dan sumbernya, tetapi tentu juga menggunakan air untuk kebersihan diri (Kel. 2:5), pembasuhan kaki (Yoh. 13:5), pencucian pakaian (Kel. 19:10, 14), dan pembasuhan segala perkakas dapur (Mrk. 7:4). Dari fungsi air sebagai sarana pencucian dalam hidup sehari-hari ini berkembanglah peran penting air dalam ritus-ritus penyucian, yakni penahiran kembali orang atau barang yang dengan salah satu cara telah dinajiskan.

            Sebab-sebab kenajisan di Israel ada aneka macam, misalnya karena kontak dengan jenazah atau bangkai, atau bersentuhan dengan orang yang sakit kulit, atau karena makan binatang yang tidak halal, atau karena mengalirnya air mani, menstruasi, atau juga karena melahirkan anak (Im. 11 – 15).

            Dalam kasus-kasus kenajisan yang lebih berat, seperti misalnya bersentuhan dengan orang yang sakit kusta, upacara penahiran harus menggunakan air hidup, artinya air yang mengalir terus dan dengan demikian tetap bersih (Im. 14:5, 50), atau menggunakan air yang ditambah dengan unsur-unsur khusus, seperti abu yang tersisa dari kurban pembakaran lembu betina merah (Bil. 19:2-10).

            Yesus dan murid-murid-Nya kemudian mengabaikan pembasuhan ritual itu (Mrk. 7:2-6), maksudnya tentu bukan untuk mengabaikan kebersihan. Bagi Yesus, penahiran ritual hanya menyentuh sisi luar, sedangkan Ia mengharapkan agar sisi dalam manusia, yakni hatinya, dijadikan bersih dan suci juga (Luk. 11:37-41). Karena itu, Yohanes Pembaptis membaptis orang dengan air Sungai Yordan dengan tujuan agar mereka dibersihkan dari dosa-dosa mereka. Ia memperkenalkan Yesus sebagai Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus (Mrk. 1:4-8). Tekanan pada Roh itu tidak berarti bahwa Yesus mengabaikan peranan air, seperti tampak dari ajakan kepada Nikodemus agar ia “dilahirkan dari air dan Roh” (Yoh. 3:5).

            Petrus dan jemaat perdana akan meneruskan pembaptisan dengan air dan Roh Kudus sebagai tanda nyata bahwa dosa-dosa orang dihapus (Kis. 2:38). Air yang membersihkan sisi fisik manusia menjadi lambang efektif pembersihan batin atau hati manusia. Pandangan orang Meto dan Alkitab memiliki kemiripan di mana ritual sanut maputu dan hainikit di dalam air yang mengalir. Air untuk membersihkan, mendinginkan.

KESIMPULAN

              Kita hidup dalam dunia modern, salah satu dampak bagi generasi muda adalah individualistik. Generasi muda di desa juga mulai punya sikap individualis. Kepedulian terhadap sesama mulai memudar, sebagai salah satu gejala perilaku ini. Gotong royong dan tolong-menolong yang dahulu menjadi ciri khas masyarakat desa, perlahan mulai luntur seiring dengan kebersamaan yang mulai memudar.

            Faktor sosial budaya dan kemajuan teknologi akan mempermudah pelaksanaan kegiatan, sehingga manusia merasa bisa melakukan segala hal sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, faktor ekonomi juga mendorong munculnya sikap individualis. Ini berkaitan dengan persaingan ekonomi yang bertambah keras dan berat. Misalnya, minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia, membuat orang jadi bertambah fokus pada dirinya sendiri dan acuh terhadap orang lain. Kemudian krisis lingkungan merupakan salah satu persoalan yang dihadapi saat ini, krisis tersebut menyebabkan terjadi tanah longsor saat musim hujan dan musim panas terjadi kekeringan. Oleh karena itu, dari pembahasan tentang ritus sanut maputu dan hainikit, kita memperoleh nilai-nilai teologis dan spiritualitas hubungan antara yang Ilahi, manusia dan alam tidak bisa dipisahkan.

            Dari ritus tersebut mengajarkan jemaat tentang kerja sama, kaloborasi di antara jemaat untuk membangun kehidupan. Dalam hidup yang serba instan ritus tersebut mengajarkan tentang sebuah proses kehidupan, di mana proses itu melibatkan pihak lain.

            Ritus sanut maputu dan hainikit mengajarkan tentang menjaga keharmonisan dan keseimbangan manusia dan alam. Selain mengambil dari alam dan juga mengembalikan tsenat fain hau nu. Kemudian dari ritus ini juga mengajarkan tentang sumber-sumber air yang ada. Air adalah lambang kehidupan, pembersihan dan kesejukan. Air menyucikan manusia dari segala macam kenajisan yang mendatangkan malapetaka bagi manusia.







DAFTAR PUSTAKA

Borrong, P. Robert, Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Fobia,F.H. Perjumpaan Injil dan Adat di Timor Tengah Selatan, Kupang: Panitia Sidang Sinode GMIT, 2003.

Fajarini,U. Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter, Jakarta: PT Gramedia, 2014.

Inabuy, E.E. Junus,  “Nilai Proteksi inklusif Rumah (ume) Komunitas Amarasi Pulau Timor Bagi Prespektif Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam “Demokrasi Pribumi: Membangun Sistem Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal,” Yokyakarta:  Bonet Pinggupir, 2014.

Keraf, A. S. Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Manehat, Piet, “Pandangan orang Timor terhadap alam sekitar,” dalan “Kebudayaan sebuah agenda dalam bingkai pulau Timor dan sekitarnya” Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Kolimon,  Mery, Misi Pemberdayaan : Prespektif Teologi Feminis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2022.

Middelkoop, Pieter, Curse, Retribution, Enmity as Data in Natural Religion, Especially in Timor, Confronted with the Scripture (Amsterdam: Jacob van Campen, 1960).

Neonbasu, Gregor, Skesta Dasar Mengenal Manusia dan Masyarakat , Jakarta: BUKU KOMPAS, 2020.

Neonbasu, Gregor, Skesta Dasar: mengenal manusia dan masyarakat, Jakrata: Kompas, 2014.

Paterson M. Robert,  Kitab Imamat. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994.

Tristanso, A. Lukas,  Hidup Dalam Realitas Alam, Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Thamrin, H, Kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan (the lokal wisdom in enveronmental sustainable), Jakarta: PT Gramedia, 2013.

Martinus Bahan (78 tahun), Wawancara, Minggu, 17 September 2023.

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan Minggu Sengsara Kedua: YESUS MENDERITA AKIBAT DOSAKU (1 Petrus 2:18-25)

Renungan Minggu Sengsara Pertama: KASIH BAPA DALAM PENGORBANAN ANAK TUNGGAL ALLAH (MAT. 21:33-46)

RENUNGAN BULAN KELUARGA: HIDUP DENGAN RASA CUKUP (I TIMOTIUS 6: 2b - 12)