Renungan Bulan Pendidikan: HIKMAT DAN KARAKTER: FONDASI PENDIDIKAN KRISTEN YANG BERKUALITAS (PENGKHOTBAH 10:1-20)
PENGANTAR
Dalam konteks iman Israel,
hikmat merangkum inti hukum Taurat, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada
sesama manusia. Atas dasar kasih maka orang berhikmat adalah orang yang hidup
dalam kasih. Oleh karena itu, jika kita berbicara tentang hikmat dan orang
berhikmat, maka pertama-tama kita tidak menekankan kepada pengetahuan teoritis,
melainkan orang yang mampu menjalani hidup dengan penuh kasih dan penuh
tanggungjawab. Orang yang berhikmat terlihat dari karakternya, cara berpikir
dan cara bertindak, cara bertutur sekaligus cara berperilaku, cara menghasilkan
juga cara menikmati, kematangan untuk mengenal dan menghayati nilai-nilai hidup
manusia dalam kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN TEKS
Pertama,
ayat 1-3, kebodohan dan hikmat, orang berhikmat dan orang bodoh.
Pengkhotbah memulai
mengumpamakan kebodohan seperti lalat yang mati, menggunakan kata yabbia (dalam
bahasa Ibrani) adalah “meragikan” lalat itu mati “membusukkan, demikian juga
sedikit kebodohan lebih berpengaruh. Artinya bahwa sepotong kecil kebodohan
lebih berat dari hikmat yang melimpah. Lalat merusak walaupun binatang kecil,
tetapi merusak seluruh parfum si pembuat minyak wangi. Kebodohan kecil
menghasilkan kesalahan yang fatal, yang merusak semua hal yang baik. Si
Pengkhotbah menekankan bagaimana kebodohan bisa merusak hikmat dan kehormatan.
Ayat 2, posisi orang
bodoh dan orang berhikmat. Kebiasaan dalam masyarakat khususnya memberi sesuatu
dengan tangan kiri dianggap tidak sopan. Sebelah kiri merupakan area yang tidak
baik merupakan pengetahuan umum. Menurut E. G. Singgih, pemahaman yang sama
juga di dunia Yunani dan Romawi. Sedangkan dalam kebudayaan Jawa, wayang-wayang
tokoh-tokoh jahat biasanya di sebelah kiri sedangkan tokoh-tokoh baik pada
umumnya di sebelah kanan. Pengkhotbah mengangkat kebiasaan tersebut untuk
menjelaskan posisi orang berhikmat. Hati orang berhikmat menuju ke sebelah
kanan, yang menghasilkan hal-hal yang baik, sedangkan hati orang bodoh ke kiri,
yang akan menghasilkan hal-hal yang tidak baik. Ayat 3, sorotan terhadap sikap orang
bodoh. Orang bodoh menganggap semua orang lain bodoh. Di jalan ia sering
mengatai orang bodoh, namun ia sendiri merasa dirinya tidak bodoh. Dia
berkoar-koar merasa dirinya pintar padahal bodoh.
Kedua,
ayat 4-7, sikap orang kecil menghadapi penguasa, penguasa tidak bebas dari
kesalahan. Penguasa di sini tidak hanya menekankan tentang raja tetapi penguasa
dalam lingkup-lingkup kecil dan orang yang berwibawa. Jika penguasa marah jangan
cepat-cepat meninggalkannya dan harus hadapilah dengan ketundukan. LAI
menggunakan kata kesabaran. Ketundukan akan mencegah kesalahan-kesalahan besar.
Kalau di dalam pasal 9:18 satu kesalahan kecil merusak banyak hal yang baik,
maka di sini satu hal yang baik akan menghindarkan kesalahan besar. Ayat 5, Pengkhotbah
mengatakan bahwa walaupun penguasa marah namun dia ada kehilafan atau kesalahan,
kekhilafan tersebut terlihat dalam ayat 6. Kesalahan dari penguasa adalah
memberi nasehat yang tidak tepat atau penguasa tidak suka mendengar nasehat,
atau orang-orang yang tidak becus ditempatkan di jabatan-jabatan tinggi
sedangkan orang-orang kaya menempati jabatan rendah. Di sini orang kaya
dibandingkan dengan orang bodoh. Atau dengan kata lain, orang kaya yang pintar
menjadi bawahan sedangkan orang kaya yang bodoh menjadi atasan.
Ketiga,
ayat 8-11, contoh-contoh umum sebab akibat perbuatan yang tak berhikmat. Siapa
yang menggali lubang akan terperosok ke dalamnya. Paralel ayat ini bisa
terlihat dalam Amsal 26:27; Mazmur 7:16;9:16-17;35:7-8;57:7. Menurut Klaus Koch
sebagaimana dikutip oleh Singgih, mengatakan bahwa Allah tidak langsung
memberi sangsi atas pelanggaran tetapi orang yang melakukannya akan menanggung
sendiri akibat dari perbuatannya. Jadi semacam hukum retribusi yang berjalan
secara otomatis. Namun yang sebenarnya menurut Singgih, contoh umum yang
dimaksud fungsinya bukan sebagai contoh hukum retribusi melainkan contoh untuk
memperlihatkan apa yang dapat terjadi kalau orang menggali lubang. Dia sendiri
akan jatuh ke dalamnya.
Pengkhotbah mengangkat
contoh orang yang membongkar pagar tembok orang Yahudi. Tembok pagar atau rumah
orang Yahudi biasanya disemen dengan lumpur, sehingga masih banyak
rongga-rongganya. Kalau sudah lama dan tua, biasanya bagian dalam tembok
menjadi hunian bagi binatang-binatang kecil seperti ular. Tukang batu yang
ceroboh dan tidak memperhitungkan hal-hal ini akan terkena resiko digigit ular.
Pengkhotbah memberikan contoh yang lain dalam ayat 9 (baca). Di mana kedua
pekerjaan ini memiliki resiko kalau dilakukan dengan sembarangan. Ayat 10-11, besi
dalam konteks ini adalah kapak. Kalau kapak tumpul maka diasah, tentu
diperlukan kekuatan ekstra untuk menebang kayu. Apa yang dimaksud dari hikmat
sebagai keuntungan dari keberhasilan? Kata yang diterjemahkan dari
“keberhasilan” adalah haksye`ir yang juga dapa berarti “kepakaran”.
Maksudnya adalah kalau menemukan kesulitan seperti menggunakan kapak yang
tumpul, maka kepakaran pada seseorang tahu menggunakan tenaga yang ekstra untuk
menyelesaikan pekerjaan, itu merupakan tanda bahwa orang itu berhikmat. Atau
seperti ayat 11 mengenai pawang ular. Akan sia-sia jika si pawang tidak
menggunakan kepakaran pada saya yang tepat.
Keempat,
ayat 12-15, orang bodoh diperbandingkan dengan orang berhikmat. Namun setelah
itu orang bodoh disoroti. Orang berhikmat pandai menggunakan kata-kata sehingga
ia mendapatkan karunia. Atau dia menggunakan kata-kata yang memberikan karunia
kepada orang-orang lain. Lain dengan orang bodoh, di mana kata-katanya menelan
dirinya sendiri. Maksudnya kata-kata yang diucapkan tanpa pertimbangan, yang
nantinya merugikan dirinya sendiri. Orang bijak adalah orang yang tahu mempergunakan
kata-katanya.
Orang bodoh memulai
wacananya dengan kata-kata bodoh dan mengakhirinya dengan kata-kata yang lebih
bodoh lagi dan mencelakakan dirinya. Sorotan tajam bagi orang bodoh pada ayat
14. Omongan orang bodoh semakin lama semakin berlipat ganda. Siapa orang bodoh?
Yakni orang-orang yang sok mengetahui apa yang akan terjadi di masa
depan.
Orang bodoh di sini bukan
orang malas melainkan diakui mempunyai amal, “jerih payah”. Ungkapan “ia tidak
mengetahui jalan ke kota” menunjukkan situasi orang bodoh, yang begitu pusing
dililit dengan berbagai macam persoalan akibat kata-katanya yang dihamburkan
tanpa berpikir, tidak tahu arah ke mana ia harus pergi. Kalau dihubungkan
dengan ayat 14, maka dikatakan bahwa ketidakmampuan manusia untuk mengetahui
masa depan. Kalau orang lain bijaksana karena tidak mengetahui masa depan,
kalau orang bodoh menjadi kalut sendiri karena sok mengetahui masa
depan.
Kelima,
ayat 16-20, karakter raja dan para abdinya. Pokok pembicaraannya berpindah ke
orang bodoh ke tokoh raja. Yang disoroti adalah orang yang tidak tepat menjadi
raja, yaitu yang masih na`ar (masih kanak-kanak). Kanak-kanak di sini
meliputi seorang anak sampai dengan batas umur 30 tahun. Namun penekanan bukan
pada usia melainkan pada persiapan dan kematangan. Kemudian menyinggung tentang
para pangeran, di mana mencari makanan di pagi hari dianggap sesuatu yang jelek. Dalam konteks
ini makanan yang besar bukan sarapan. Mereka hanya mencari makan dan berpesta
pora. Para pejabat-pejabat yang demikian bukan orang yang membahagiakan,
melainkan akan mencelakakan negara atau merugikan negara. Ayat 17, “berbahagialah
engkau” (erets), yakni lawan dari ayat 16. Jika raja dari sebuah negara yang
bebas, keturunan bangsawan, yaitu seorang pemimpin yang sudah mempelajari seluk
beluk kebangsawanan, sehingga patut menjadi raja. Artinya ia bukan hanya
bangsawan karena keturunan namun bangsawan karena pendidikan. Oleh karena
itu mereka tidak mabuk-mabukkan dan memalukan. Ayat 18 adalah sebuah peribahasa
yang menguatkan ayat 17. Jadi atap yang runtuh dan rumah yang bocor metofara
untuk negara yang keropos karena ditangani oleh orang-orang yang tidak becus di
ayat 16.
Ayat 19, Pengkhotbah
masih merenungkan tentang para pejabat yang suka bersenang-senang yang berpesta
pora, menghamburkan biaya-biaya besar. Orang yang bijaksana tidak tidak akan menghambur-hamburkan
uang hanya untuk mengadakan jamuan. Ayat 20, raja diparalelkan dengan orang
kaya dan pikiran diparalelkan dengan kamar tidur. Baik pikiran dan kamar tidur
merupakan tempat yang tersembunyi. Artinya tidak bisa dimasuki oleh orang lain.
Hal ini menunjukkan nasihat-nasihat kepada orang mengabdi kepada raja, penguasa
dan orang-orang kaya. Si abdi sungguh-sungguh dan waspada, tidak membiarkan
orang lain mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Meskipun ia
mengabdi kepada atasan dan ia harus sadar bahwa atasan adalah penguasa yang
mengawatirkan ancaman terhadap kedudukan mereka.
Ungkapan mengenai burung
dan segala yang bersayap sebagai penerus informasi harus dilihat sebagai kiasan
mengenai ketidakamanan situasi di mana saling memata-matai.
POKOK-POKOK RENUNGAN
Dari pembahasan di atas
kita mencatat beberapa pokok renungan.
Pertama,
hikmat dan karakter diperoleh dari mengasihi Allah dan mengasihi sesama, jadi
tidak ada “sekolah khusus” untuk mendapat hikmat dan karakter. Mengasihi Allah
dan mengasihi sesama merupakan sekolah dasar untuk memperoleh hikmat. Sekolah
tersebut mulai dalam rumah, gereja dan sekolah (mata pelajaran agama) untuk
memperoleh hikmat dan karakter. Jika pendidikan dasar kuat, maka akan membentuk
karakter seseorang. Karakter yang baik lahir dari orang yang berhikmat. Catatan
kritis kita di bulan pendidikan ini ialah, banyak orang yang memiliki
pengetahuan karena bersekolah, menyandang gelar akademik, sehingga memiliki
pangkat, jabatan, namun tak berhikmat. Jika orang berhikmat maka akan melayani
masyarakat dengan baik, tidak korupsi, melakukan kekerasan, dst. Mereka tidak
seperti raja atau penguasa yang digambarkan oleh firman Tuhan saat ini.
Pemimpin yang berpesta pora di atas penderitaan rakyat dan mencelakakan negara
dan rakyat yang dipimpinnya.
Kedua,
di zaman ini dan masa yang akan datang anak-anak kita hanya mampu bersaing dan
hidup baik jika mereka bersekolah. Jika mereka tidak bersekolah maka seperti
kata Pengkhotbah, bahwa kita (orang tua) dan mereka akan menggali lubang untuk
dirinya sendiri kemudian terperosok ke dalamnya sendiri. Hidup tak berguna
seperti kapak yang tumpul. Kapak ada isinya namun tidak tajam sehingga
membutuhkan tenaga yang ekstra untuk menebang sebuah pohon. Masa kini dan masa
yang akan datang tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan melainkan kecerdasan
buatan atau artificial intelligence (IA). Pekerjaan sebelumnya berpusat
pada tenaga fisik dan beralih ke ekonomi berbasis pengetahuan. IA mengambil
alih sebagai tugas intelektual. Sebagai orang percaya. Konteks yang demikian,
sebagai orang percaya apa yang kita lakukan? Jadi orang berhikmat mengatasi
masa depan dan berkarakter kristiani untuk menghadapi berbagai tantangan. Kita
tidak seperti orang bodoh yang menghadapi masa depan dengan sok tahu namun
tidak tahu apa-apa.
Ketiga, di
hari Minggu pertama Bulan Pendidikan, kami belajar bersama jemaat tentang masa
lalu dan menjadi pelajaran untuk masa kini dan masa depan. Dalam Pemahaman
Alkitab bersama dengan beberapa presbiter, mereka menyesal di masa kini karena
mereka tidak bersekolah di masa lalu. Jika mereka bersekolah mungkin keberadaan
sekarang berbeda. Dalam firman Tuhan saat ini, Pengkhotbah mengumpamakan
kebodohan seperti lalat yang mati, “meragikan” lalat itu mati “membusukkan,
demikian juga sedikit kebodohan lebih berpengaruh. Artinya bahwa sepotong kecil
kebodohan lebih berat dari hikmat yang melimpah. Kebodohan kecil menghasilkan
kesalahan yang fatal, yang merusak semua hal yang baik. Kebodohan bisa merusak
hikmat dan kehormatan. Oleh karena itu, kini saat untuk anak-anak kita
bersekolah sehingga mereka menjadi orang yang bijaksana, berhikmat dan memiliki
kehormatan. Semakin banyak anak-anak kita bersekolah, berhikmat, maka mereka
tidak akan terpengaruh dengan kebodohan.
Keempat, jadilah
orang bijak yang berkarakter, tidak tergesa-gesa dalam mengambil sebuah
keputusan. Kata-kata yang diucapkan selalu dipertimbangkan dengan matang,
bahkan kata-katanya adalah karunia. Orang bijak yang berkarakter baik mengalah
untuk sebuah kebaikan namun tetap menyatakan kebenaran. Dalam bacaan ini
kelompok kiri berkonotasi negatif, namun dalam dalam kenyataan kelompok sayap
kiri dalam dunia politik adalah kelompok merupakan spektrum politik yang
mendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme, dan sering kali berlawanan
dengan sistem hierarki sosial ala
sayap kanan. Firman Tuhan saat ini bukan
mempersoalkan posisi kiri atau kanan melainkan orang bijak dan bodoh. Bagaimana
karakter orang bijak dan bodoh dalam kehidupan bersama. Amin. FN.
Komentar
Posting Komentar