Renungan Bulan Pendidikan: MENDIDIK DALAM KEBENARAN (2 YOHANES 1:4-11)
PENDAHULUAN
Mendidik adalah
proses mengajar, membimbing dan mengembangkan kemampuan serta karakter
seseorang. Mendidik dapat mencakup aspek seperti: pengajaran, yaitu memberikan
pengetahuan dan keterampilan kepada seseorang. Pembimbingan, yaitu membantu
seseorang mengembangkan kemampuan dan karakter mereka serta pengembangan, yakni
membatu seseorang mencapai potensi mereka secara maksimal. Mendidik seseorang
dalam kebenaran berarti mengajar dan membimbing mereka tentang prinsip-prinsip
dan nilai-nilai yang benar, sehingga mereka dapat memahami dan mengamalkan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kebenaran seperti kejujuran,
integritas dan empati. Kemudian membuat seseorang mengambil keputusan yang tepat
dan bertanggungjawab serta mengamalkan nilai-nilai ajaran agama yang benar.
PEMBAHASAN TEKS
Dari bacaan ini, kita
mencatat beberapa poin. Pertama, hidup dalam kebenaran. Alasan tersebut
yang membuat Yohanes bersukacita dan memberikan pujian kepada seorang Ibu karena
anak-anaknya hidup sesuai dengan perintah Allah. Ibu tersebut melaksanakan
kewajiban sebagai seorang ibu dengan baik, di mana ia mendidik anak-anaknya
dalam kebenaran. Pertanyaannya adalah, siapakah Ibu yang dimaksud?
Ada dua pendapat tentang Ibu yang disebutkan
oleh Yohanes. Pertama, Ibu yang dimaksud adalah sebuah sebutan metaforis, makna
simbolis yang menunjuk kepada jemaat lokal yang mengasuh anak-anak yang adalah
umat Tuhan. Seperti apa yang dikatakan Yohanes Calvin, “Tidak seorang pun dapat
mengenal, menyapa dan mengasihi Allah sebagai Bapanya jika ia tidak mengenal,
menyapa dan mengasihi gereja sebagai Ibunya.
Pandangan
kedua, ibu yang disebutkan dalam bacaan ini adalah seorang perempuan yang terpilih,
pemimpin Jemaat kuno. Ada yang berpendapat bahwa kemungkinan ia adalah seorang
tokoh perempuan yang mengasuh satu Jemaat. Teks Yunani yang dipakai adalah Eklekte
Kuria. Kata Kuria merupakan gelar untuk seorang perempuan mulia. Ada bukti yang jelas dalam
Perjanjian Baru dan banyak bukti dari sumber-sumber lain bahwa perempuan
melayani bersama laki-laki di tempat-tempat kepemimpinan yang menonjol di
gereja mula-mula. Pendapat ini didasarkan antara lain pada fakta bahwa
surat 3 Yohanes ditujukan kepada seorang laki-laki yang bernama Gayus yang juga
ikut memimpin dan melayani satu jemaat. Untuk
menanggapi teks ini sarjana
Yunani Henry Dana mengatakan bahwa "Ketika makna teks yang sebenarnya
masuk akal, jangan mencari makna lain." Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan
bahwa surat ini ditujukan kepada seorang Ibu, pemimpin gereja yang berhasil
mendidik anak-anaknya dan menjadi pemimpin dalam sebuah jemaat. Menurut saya,
pendapat kedua lebih tepat sebab jika Ibu tersebut menunjuk kepada jemaat lokal,
maka kita mengabaikan ayat-ayat berikutnya. Sebab nada ayat-ayat selanjutnya
lebih menunjuk kepada seseorang. Dalam refleksi ini, kita memakai dua pendapat
ini untuk merumuskan pokok-pokok
refleksi. Di mana gereja sebagai tempat belajar dan mendidik umatnya kepada
kebenaran. Gereja seperti kata kata Calvin di atas dan juga seorang pemimpin
perempuan yang berhasil mendidik anak-anak dan jemaat yang ia pimpin.
Kedua, saling mengasihi. Dengan
alasan bahwa anak-anak jemaat telah hidup dalam kebenaran, Yohanes minta
kepada Ibu tersebut supaya anak-anak hidup saling mengasihi. Sebab ada indikasi
bahwa anak-anak dan jemaat hidup tidak saling mengasihi karena dipengaruhi oleh
berbagai ajaran sesat oleh guru-guru palsu. Hidup saling mengasihi merupakan
perintah Allah sejak semula (ay. 5), bukan perintah manusia. Yohanes menegaskan
tentang hidup dalam kasih. Kasih bukan sekedar masalah perasaan, kasih adalah
tindakan melaksanakan kehendak Allah.
Ketiga, penyesat dan antikristus.
Sejak semula antikristus menolak dan menentang kehendak Tuhan. Para penyesat
tidak mengaku bahwa Yesus Kristus datang sebagai manusia. Sebagaimana ungkapan
"tidak mengasihi" dalam 1 Yohanes 3:10,14, padanan praktisnya dari "membenci"
dalam 3:15; 4:20, maka di sini ungkapan "tidak mengaku" sama dengan
"menyangkal". Mengenai penyangkalan semacam itu, Yohanes tidak ragu
untuk mengatakan: "Inilah si penipu dan antikristus". Ucapan Yohanes
sangat lugas dan tidak boleh diabaikan. Para penyesat dikatakan telah
menyangkal "Yesus Kristus datang sebagai manusia".
Orang Yahudi menyangkal bahwa
Kristus telah datang sebagai manusia. Kaum Gnostik juga menyangkal bahwa
Kristus dapat datang sebagai manusia. Mereka menolak Yesus sebagai Mesias. Mereka bersedia pergi
dan berkeliling di seluruh dunia untuk menyatakan bahwa Yesus bukanlah Mesias,
sama seperti para murid Yesus yang juga mendapat perintah untuk memberitakan
Injil Yesus Kristus ke seluruh dunia (ay. 7).
Kita mendapat kesan
bahwa para penyesat ini juga memberitakan Kristus, jadi ke mana saja mereka
pergi, mereka bisa masuk dan menyatu dengan jemaat serta bergaul dan ikut
beribadat bersama dengan warga jemaat. Hal ini terbaca dari kata-kata: “…mereka tidak mengaku bahwa Yesus
Kristus telah sebagai manusia. Oleh karena itu, Yohanes menasihatkan Ibu yang
terpilih supaya mereka waspada dan berjaga-jaga karena jika mereka tidak
berwaspada maka keselamatan dan upaya yang yang telah mereka peroleh menjadi
sia-sia (ay. 8).
Keempat, jemaat adalah miliki Bapa dan Anak. Yohanes mengingatkan kepada mereka,
bahwa jika mereka tidak waspada dan tinggal di dalam Kristus sehingga mereka
melangkah keluar dari keselamatan. Kata “melangkah keluar” artinya mereka yang
memilih keluar dari kebenaran Kristus, maka mereka tidak memiliki Allah sebagai
Bapa (ay. 9). Kelima, Yohanes mengingatkan Ibu dan anak agar menolak dengan tegas ajaran
guru-guru palsu, antikristus dan para penyesat (ay. 10-11).
POKOK-POKOK RENUNGAN
Dari bacaan ini kita mencatat beberapa pokok refleksi di minggu terakhir
Bulan Pendidikan.
Pertama, firman Tuhan mengingatkan kita bahwa pendidikan mulai dari dalam rumah,
yakni tugas orang tua, seperti seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan
kasih sayang. Pendidikan tentang kebenaran firman Tuhan yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai kehidupan seperti yang telah disebutkan di atas. Dasar didikan
yang kuat di dalam rumah tidak akan membuat anak-anak terpengaruh dengan
berbagai ajaran sesat dari luar.
Kedua, Gereja menjadi rumah belajar bagi jemaat tentang kebenaran dan kasih. Gereja
adalah ibu yang mendidik dan mengasuh anak-anak untuk mengenal Bapa di sorga,
seperti kata Calvin di atas. Di dalam gereja jemaat mengetahui tentang
kebenaran dan menemukan kasih sayang seperti seorang ibu yang menyusui dan
mengasuh anak-anaknya dengan cinta kasih. Oleh karena itu, penting bagi gereja
menyiapkan ajaran sehat dan yang benar bagi jemaatnya. Jemaat tidak bingung sendiri
dengan ajaran gerejanya sehingga mereka tidak diombang ambingkan dengan
berbagai ajaran. Jika gereja sebagai, maka setiap anak-anak pasti mengenal
siapa ibunya, sebab seorang ibu tidak bisa dibohongi.
Ketiga, kita hidup di era keterbukaan informasi yang membuat kita dan anak-anak
kita belajar dari mana saja dan di mana saja. Setiap hari jutaan informasi atau
berita bisa kita akses untuk belajar. Informasi yang negatif dan positif tersaji di berbagai dinding media sosial. Hoax dan kebenaran berjalan bersamaan.
Pertanyaannya adalah: apakah kita menyerahkan atau membiarkan anak-anak belajar
dan dididik dari informasi atau berita yang “berkeliaran” di media sosial? Berita-berita
tersebut tidak valid sumbernya. Ataukah kita orang tua yang harus menjadi
sumber belajar bagi anak-anak di dalam rumah? Bukan hanya orang tua dalam
rumah, namun gereja menjadi media untuk jemaat memperoleh informasi yang benar.
Keempat, di zaman sekarang kejahatan dan kebenaran berjalan beriringan, seperti si
penyesat dan antikristus berjalan untuk memberitakan ajaran mereka. Dan juga
murid-murid Yesus berjalan untuk memberitakan kebenaran. Kejahatan dibungkus
dengan kebaikan, kemunafikan dibalut dengan kasih, untuk menghadapi ajaran
penyesat dan antikristus, maka didikan tentang kebenaran firman Tuhan, peka dan
kritis merupakan pendidikan yang harus diberikan kepada jemaat dan anak-anak
kita. Amin.
Komentar
Posting Komentar